Penghapusan Intervensi Rapat Komisi Tak Jamin Independensi Majelis Komisi KPPU
Utama

Penghapusan Intervensi Rapat Komisi Tak Jamin Independensi Majelis Komisi KPPU

Pakar usulkan penghidupan kembali fungsi kelompok kerja layaknya ALJ pada US FTC serta pembentukan Perkom baru terkait kode etik yang melahirkan Majelis Etik Komisi.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Diskusi Hukumonline bertema “Regulasi Baru Mekanisme Persidangan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Rabu (22/5). Foto: SGT
Diskusi Hukumonline bertema “Regulasi Baru Mekanisme Persidangan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Rabu (22/5). Foto: SGT

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengubah Peraturan Komisi (Perkom) No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara menjadi Perkom No 1 Tahun 2019 yang ditetapkan pada 4 Februari lalu. Salah satu isu yang melatarbelakangi perubahan, mempersoalkan independensi Majelis Komisi KPPU dalam memeriksa perkara. Pasalnya, dalam Perkom 1/2010 terdapat keterlibatan yang sangat kental bagi Rapat Komisi dalam menentukan lolos tidaknya suatu perkara untuk masuk tahap pemeriksaan lanjutan.

 

Keterlibatan Komisioner tersebut, jelas berdampak pada posisi yang tidak imbang antar pelapor dan terlapor dari kacamata majelis yang memeriksa perkara. Itulah kiranya latar belakang dicabutnya intervensi komisioner dalam pelaksanaan fungsi investigator yang diungkapkan oleh Ketua KPPU Kurnia Toha.

 

Pertanyaan yang mendasar, sudah mampukah kebijakan baru dalam Perkom 1/2019 tersebut menjawab tuntas permasalahan independensi Majelis Komisi dalam menangani perkara? Sudah terjaminkah adanya ‘kesetaraan’ di mata Majelis Komisi terkait kedudukan terlapor dan investigator yang saling berhadapan di sidang pemeriksaan?

 

Guru Besar Hukum Persaingan Usaha dari Universitas Sumatera Utara (USU), Ningrum Natasha Sirait, menyebut sangat sulit bila dikatakan ada kesetaraan posisi antara investigator dan terlapor. Bagaimanapun juga, investigator tetap memegang kekuatan yang sangat besar. Kendati sudah terdapat pemisahan fungsi komisioner dengan investigator, katanya, tetap saja investigator dan komisioner berada dalam satu tubuh KPPU.

 

“Mereka satu gedung, satu ruangan, satu sistem, satu pertemuan, berinteraksi langsung, jelas enggak ada jaminan steril dari keberpihakan. Terpenting, harusnya ada satu badan yang memeriksa,” ujarnya dalam acara diskusi Hukumonline bertema “Regulasi Baru Mekanisme Persidangan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Rabu (22/5).

 

Masalah yang sama, sebetulnya juga dialami oleh US FTC (entitas pengawas persaingan usaha AS). Bedanya, pada US FTC terdapat peran administrative law judges (ALJ) yang melakukan pemeriksaan dan penerimaan komplain. Di Indonesia sendiri, sebetulnya juga ada peluang untuk menerapkan fungsi layaknya ALJ, yakni dengan memberdayakan fungsi Kelompok Kerja (KK) yang diatur dalam Pasal 34 UU 5/1999.

 

Pembentukan KK itu, kata Ningrum, bahkan sudah beberapa kali dilakukan melalui SK Komisi. Kini tinggal kebijakan KPPU, apakah memiliki kemauan untuk memfungsikan KK layaknya ALJ? “Itu yang bisa dilakukan, karena KK itu independen dan bukan personilnya KPPU,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait