Bagaimana Penanganan Pidana dalam Konteks Kepailitan?
Pojok IKHAPI

Bagaimana Penanganan Pidana dalam Konteks Kepailitan?

Setiap peserta diskusi sepakat: kompetensi, skill, pengetahuan, etika, dan koordinasi positif adalah lima hal yang wajib ditingkatkan untuk menjalankan fungsi kurator sebaik mungkin.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Bagaimana Penanganan Pidana dalam Konteks Kepailitan?
Hukumonline

Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI) bekerja sama dengan Sahabat DJ menyelenggarakan diskusi terkait tips dan trik penanganan pidana dalam konteks kepailitan. Di awal diskusi, Presiden IKHAPI sekaligus pemandu diskusi, Joyada Siallagan—langsung membuat pernyataan tegas dan lugas: tugas dan wewenang kurator adalah optimalisasi harta budel pailit, sejak pukul 00.00 waktu setempat!

 

Pernyataan tersebut tidak sembarang dilontarkan. Hal ini mengingat, ketika menjalankan tugasnya, para kurator sering kali terkendala dengan irisan serta konflik kewenangan dalam optimalisasi aset. Biasanya, konflik tersebut muncul ketika ada penyitaan oleh kurator atau penyidik. “Jika sudah begini, kita akan melihat norma hukumnya. Mana yang lebih tinggi, Sita Umum atau Sita Pidana?” Joyada menambahkan.

 

Diskusi ini juga menghadirkan narasumber akademisi dan Pakar Pidana Universitas Pelita Harapan, Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H. Ia menyatakan, kurator atau pengurus harus independen dalam menjalankan profesinya. Berpijak pada tujuan pengangkatan, seorang kurator atau pengurus ditugaskan untuk mengamankan harta pailit. Bahkan, jika memungkinkan, mereka dapat meningkatkan nilai harta pailit.

 

Pada saat yang sama, seorang kurator yang sudah melakukan tugas dan tanggung jawab secara baik dan benar, tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Kecuali, jika ada tindakan pidana lain yang diatur dalam KUHP yang terkait dengan tindakan kurator dalam menjalankan tugasnya; yang benar-benar memenuhi seluruh unsur terkait dengan pasal yang didakwakan dalam KUHP tersebut.

 

‘Pendekatan’ dan ‘Tomat’ pada Praktik Peradilan

Selain harus memiliki kompetensi, skill, dan pengetahuan mumpuni tentang pidana, praktik pidana di lapangan juga membutuhkan ‘pendekatan’. Pernyataan ini disampaikan oleh praktisi pidana senior, Tommy Sihotang S,H., LL.M. selaku narasumber kedua—yang kemudian diiringi oleh gelak tawa para peserta. Suasana diskusi pun semakin cair, setelah sebelumnya tegang, karena peserta kukuh dengan pendapat dan mashabnya masing-masing terkait ‘Sita Umum’ dan ‘Sita Pidana’.

 

Perihal penanganan pidana dalam konteks kepailitan, bahkan ada peserta yang memberikan perumpamaan. Menurutnya, budel bisa diibaratkan sebagai ‘tomat’. Nah, jika terlalu lama disita penyidik, ‘budel’ bisa keburu busuk (mengalami penyusutan dan tidak berharga lagi), sehingga kurator tidak bisa menjalankan fungsinya. Adapun pendapat lain: kurator harus mendahulukan Sita Pidana, sebab kepentingan publik harus diprioritaskan dari kepentingan privat. Dengan kata lain, jika kurator menyita aset dalam status Sita Umum, ia wajib menyerahkan ke penyidik sebagai barang bukti. Jadi, jika perkara pidana sudah selesai, ada kemungkinan barang bukti akan dikembalikan ke kurator.

 

Apa pun pilihannya, seluruh pemangku kepentingan para kurator, khususnya yang tergabung dalam Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) tetap berkomitmen untuk selalu berkoordinasi dengan para penyidik, seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pajak. Bahkan, dalam waktu dekat—beberapa narasumber bersedia untuk memberikan pelatihan kepada penyidik tentang kepailitan. Tujuannya, agar perkara pailit tidak berlangsung lama sehingga meminimalkan potensi menurunnya nilai harta pailit.

Tags:

Berita Terkait