Nasib Pemberantasan Korupsi Dinilai Makin Terancam
Utama

Nasib Pemberantasan Korupsi Dinilai Makin Terancam

Dengan menyepakati pembahasan revisi UU KPK usulan dari DPR, Presiden dinilai melanggar poin 4 Nawa Cita.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Saat arah jarum jam menunjuk angka pukul 20.00 WIB, Kamis (12/9) malam, ruang Komisi III DPR tengah menggelar uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK atas nama Firli Bahuri. Di ruang berbeda, Badan Legislasi (Baleg) tengah menggelar rapat kerja bersama pemerintah yang diwakili Menkumham Yasonna H Laoly terkait pembahasan awal revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK).  

 

Digelarnya dua agenda itu secara bersamaan seolah hendak mengalihkan perhatian masyarakat yang umumnya tertuju pada gelaran uji kelayakan Calon Pimpinan KPK (Capim KPK) di ruang Komisi III DPR. Satu sisi, hasil uji kelayakan telah memilih 5 nama pimpinan KPK periode 2019-2023 yang satu diantaranya tetap memilih Firli Bahuri, nama yang disorot publik karena diduga “cacat” secara etik.

 

Terpilihnya Bahuri (Polri) - bahkan ditunjuk sebagai ketua KPK - mendorong penasihat KPK Tsani Annafari dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memutuskan mengundurkan diri sebagai bentuk protes. Sisi lain, desakan penolakan atas RUU KPK secara masif seolah pupus pasca Presiden Presiden Joko Widodo mengirimkan Surat Presiden (Surpres) No. R-42/Pres/09/2019 ke DPR tertanggal 11 September 2019 yang menunjuk Menkumham dan Menpan dan RB untuk mewakilinya dalam pembahasan RUU KPK bersama DPR. 

 

Sehari kemudian, Kamis (12/11/201) malam, saat Komisi III DPR menggelar uji kepatutan Capim KPK, Menkumham menggelar rapat kerja bersama Badan Musyawarah (Bamus) DPR membahas sejumlah RUU, khususnya RUU KPK. Presiden Jokowi dalam pandangannya yang dibacakan Menkumham Yasonna H Laoly menerangkan Indonesia adalah negara hukum yang mutlak mengedepankan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya sistem hukum nasional yang baik.

 

“Tak hanya norma hukum dan budaya hukum, namun struktur kelembagaan menjadi kerangka dasar dalam sistem hukum nasional itu,” ujar Yasonna. Baca Juga: Akhirnya Presiden Jokowi Teken Supres RUU KPK

 

Dalam aspek pencegahan, pemberantasan korupsi pun mesti menggunakan pendekatan kerangka sistem hukum nasional. Karena itu, peran kelembagaan menjadi faktor penting untuk diprioritaskan agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara cepat, optimal, intensif, efektif, profesional, dan berkesinambungan.

 

Namun, tetap dalam koridor prinsip pengawasan yang seimbang sesuai sistem peradilan pidana yang terpadu, tidak bertentangan asas praduga tidak bersalah, dan menciptakan kepastian, keadilan, dan kemaanfaatan hukum serta dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia yan dijamin UUD RI Tahun 1945 Republik Indonesia Tahun 1945.

Tags:

Berita Terkait