Akses Informasi atas Pembahasan RUU Perlu Dipertegas
International Right to Know Day 2019:

Akses Informasi atas Pembahasan RUU Perlu Dipertegas

Agar penolakan tidak berulang, perlu ada rincian mengenai aksesibilitas masyarakat terhadap materi dan proses pembentukan peraturan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar/MYS
Bacaan 2 Menit
Akses masyarakat terhadap informasi didorong melalui peringatan international right to know day, 28 September. Ilustrasi Foto: MYS
Akses masyarakat terhadap informasi didorong melalui peringatan international right to know day, 28 September. Ilustrasi Foto: MYS

Setiap 28 September diperingati sebagai hari internasional hak untuk tahu. Hak ini sejalan dengan kebebasan untuk memperoleh informasi yang sudah dijamin dalam konstitusi dan perundang-undangan. Peringatan tahun ini bertepatan dengan waktu aksi penolakan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU), baik di Jakarta maupun di sejumlah daerah. DPR dan Pemerintah berencana mengesahkan sejumlah RUU meskipun ada penolakan massif dari masyarakat. Sebaliknya, tidak sedikit warga masyarakat yang belum membaca RUU dimaksud karena mereka tak dapat mengakses draftnya.

Dalam  konteks itulah jaringan organisasi dan individu yang mengadvokasi keterbukaan informasi di Indonesia, Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) meminta DPR dan Pemerintah untuk membuka akses lebih luas bagi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat berhak mengetahui rencana kebijakan pemerintah dan DPR, termasuk pembahasan RUU.

Salah seorang pegiat FOINI, Ahmad Hanafi, berpendapat DPR dan Pemerintah perlu menyediakan informasi pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain materi RUU, naskah akademik (NA), makalah ahli yang diundang, rekaman proses pembahasan, jadwal dan tempat pembahasan. “Proses pembahasan RUU jangan dilakukan diam-diam, dan materinya harus dapat diakses publik,” ujarnya.

Selama ini pengaturan hak masyarakat atas materi dan proses pembahasan tak diatur secara detil. Perkembangan pembahasan pun tak dipublikasikan DPR dan DPR secara terbuka sehingga masyarakat cenderung kurang mengetahui. Dalam konteks inilah penolakan masyarakat terhadap RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan revisi UU KPK perlu dilihat. Demo penolakannya sangat massif.

(Baca juga: Sebuah ‘Kontemplasi’ 7 Tahun UU Keterbukaan Informasi Publik).

Pengajar sekaligus ahli ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Fitriani Ahlan Sjarief, berpendapat perlu mempertegas hak masyarakat dalam partisipasi publik mengawal pembentukan hukum negara. “Di UU No. 12 Tahun 2011 memang hanya diatur satu pasal, sangat umum dan tidak ada kejelasan teknisnya,” kata Fitri kepada hukumonline.

Ia merujuk Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 sebagai bagi publik untuk bisa terlibat langsung dalam proses legislasi. Perlu diingat bahwa setiap undang-undang yang disahkan akan mengikat mutlak setiap individu warga negara. Dengan logika itu, maka seharusnya publik warga negara berhak mendapatkan informasi dan terlibat sejak awal proses legislasi. Mandat rakyat tak pernah terputus begitu saja di bilik suara ketika memilih anggota DPR.

Ia menduga penoalakan warga atas sejumlah RUU tak lepas dari pembentuk undang-undang kurang menampung aspirasi publik. Salah satu yang telah disahkan dan mendapatkan penolakan keras adalah revisi UU KPK. Padahal setidaknya ada dua undang-undang yang menjadi dasar bagi publik untuk bisa terlibat langsung dalam proses legislasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait