Negara Diingatkan Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Berbagai macam peristiwa penghilangan paksa pernah terjadi di Indonesia. Untuk mencegah agar peristiwa itu tidak terjadi lagi, sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti KontraS, Ikohi, dan AFAD mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa.
Koordinator KontraS Yati Andriyani menilai ratifikasi itu sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM. Bagi Yati, konvensi itu sangat penting karena sebagai landasan hukum HAM internasional yang dapat memberi perlindungan bagi setiap orang dari penghilangan paksa.
Dia mencatat sedikitnya ada 7 peristiwa penghilangan paksa dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia pada masa orde baru. Meliputi peristiwa 1965-1966; Timor-Timur 1975-1999; Tanjung Priok 1984; Tragedi Talangsari 1989; Masa DOM di Aceh dan Papua; penembakan misterius 1981-1985; dan penculikan aktivis 1997/1998.
“Konvensi ini dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa. Mengingat praktik penghilangan paksa pernah terjadi di Indonesia,” kata Yati ketika dikonfirmasi, Senin (2/12/2019). Baca Juga: Pemerintah Perlu Segera Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Yati mengingatkan pengesahan konvensi ini sejalan dengan rekomendasi DPR tahun 2009 untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998. Butir keempat rekomendasi DPR itu mengusulkan kepada pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Menurut Yati, rencana ratifikasi ini telah masuk dalam rencana aksi nasional (RAN) HAM periode 2011-2014 dan 2015-2018. Tahun 2010 silam, pemerintah telah menandatangani konvensi ini. Yati berpendapat ada banyak keuntungan bagi Indonesia jika konvensi ini diratifikasi antara lain memperkuat sistem legislasi dan memperkuat supremasi hukum.
“Ini terkait kepastian hukum bagi korban dan keluarganya. Dalam kasus penghilangan paksa, kepastian hukum memberikan afirmasi akan keberadaan/status korban,” kata dia.
Dia menegaskan kepastian hukum ini penting bagi masyarakat agar terhindar dari segala bentuk tindakan penghilangan paksa. Sekaligus mencegah agar peristiwa serupa tidak berulang dan bentuk pengakuan bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan kemanusiaan yang serius. Ratifikasi konvensi ini diyakini mampu mendorong reformasi penegakan hukum di Indonesia.
“Dengan meratifikasi konvensi ini citra Indonesia semakin baik di mata dunia. Terlebih setelah Indonesia ditunjuk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB sampai 2020 dan terpilih kembali sebagai Dewan HAM PBB periode 2020–2022,” kata Yati.
Ratifikasi konvensi ini, menurut Yati akan memperkuat inisiatif yang sudah dilakukan pemerintah di tingkat regional dan internasional. Seperti pengesahan konvensi hak anak, akan membantu implementasi rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-TImor Leste serta reunifikasi stolen children. Oleh karena itu, ratifikasi konvensi layak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) periode 2019-2024.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menekankan penting bagi pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi ini sangat penting untuk memperjelas peran negara dalam penanganan kasus penghilangan paksa. Dengan meratifikasi konvensi, pemerintah mendorong terciptanya kepastian hukum dan mencegah agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi.
“Kami memang belum menerbitkan rekomendasi secara resmi kepada pemerintah untuk meratifikasi konvensi tersebut. Tapi kami mendukung langkah organisasi masyarakat sipil yang mendorong agar konvensi itu diratifikasi,” katanya.
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua