Alasan Sejumlah Tokoh dan Lembaga 'Gugat' Perppu Penanganan Covid-19
Utama

Alasan Sejumlah Tokoh dan Lembaga 'Gugat' Perppu Penanganan Covid-19

Majelis panel meminta para Pemohon memperbaiki dan memperjelas kedudukan hukum dan hak konstitusional yang dirugikan dengan berlaku Perppu No. 1 Tahun 2020 ini.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Meski dalam suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menggelar sidang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19. Sidang pengujian Perppu ini digelar karena mendesak karena masa berlaku Perppu terbatas dan masyarakat terdampak langsung wabah Covid-19.

 

Sidang digelar tiga perkara sekaligus. Pertama, Perkara No. 23/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lain dari berbagai latar belakang profesi. Kedua, Perkara No. 24/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lain. Ketiga, Perkara No. 25/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai pengacara dan aktivis organisasi kemanusiaan.

 

Permohonan Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ahmad Yani menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019.

 

Sementara dalam Perppu a quo, lebih banyak dibahas masalah keuangan dan anggaran negara berupa pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU APBN hingga tahun 2022. Pengaturan demikian, kata Ahmad, bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena mengikat tiga periode sekaligus.

 

Para Pemohon juga melihat ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Padahal, ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebutkan UU APBN harus mendapatkan persetujuan rakyat yang diwakili oleh DPR.

 

“Persetujuan DPR ini amat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Jika DPR tidak menyetujui Rancangan UU APBN, maka Pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Tetapi, pasal a quo, menihilkan arti penting persetujuan DPR ini,” kata Ahmad di ruang sidang MK melalui kanal Youtube MK, Selasa (28/4/2020). (Baca Juga: 28 April, MK Gelar Sidang Tiga Pengujian Perppu Covid-19  

 

Menurut Pemohon, pelaksanaan keuangan APBN ketika menghadapi hal-hal yang tidak ada pagu anggarannya dapat dilakukan pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu. Dengan syarat terdapat keadaan darurat yang mengancam kesehatan jiwa atau keutuhan negara. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dalam laporan realisasi anggaran.

Tags:

Berita Terkait