MA Diminta Sikapi Panggilan ‘Yang Mulia’ Terhadap Hakim
Utama

MA Diminta Sikapi Panggilan ‘Yang Mulia’ Terhadap Hakim

Selain tidak memiliki dasar hukum, panggilan “Yang Mulia” dirasa kurang tepat/pantas lagi disematkan terhadap hakim atau mantan hakim. MA membiarkan panggilan “Yang Mulia” ini muncul di publik dan dibahas oleh para ahli terlebih dahulu. Nantinya, MA akan mengambil sikap.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MA Harifin A Tumpa. Foto: Sgp/Hol
Mantan Ketua MA Harifin A Tumpa. Foto: Sgp/Hol

Pengurus Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi) mengirimkan surat bernomor: 01/ Kppha/VI/2020 tertanggal 17 Juni 2020 kepada Ketua MA M. Syarifuddin. Surat ini berisi permintaan sekaligus pertanyaan apakah sebutan “Yang Mulia” masih perlu dan pantas disematkan terhadap semua hakim atau hakim agung termasuk hakim konstitusi?   

Mereka beralasan dalam masyarakat dan media sosial sudah ramai membicarakan adanya instruksi untuk menyebut Hakim dengan sebutan “Yang Mulia”. Padahal, sejatinya tidak diketemukan dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seorang saksi, tersangka, jaksa atau pengacara untuk memanggil Hakim dengan sebutan “Yang Mulia” dalam setiap persidangan.

“Bahkan para hakim yunior kita juga seringkali memanggil para purnawirawan Hakim Agung dengan ‘Yang Mulia’ yang membuat kita merasa tidak enak dan risih, karena sebenarnya sudah tidak tepat dan pantas lagi, karena Kami semua sudah purnabakti,” ujar Dewan Pembina KKPHA Harifin A Tumpa saat dikonfirmasi Hukumonline, Jum’at (26/6/2020).       

Mantan Ketua MA periode 2009-2012 ini menilai predikat “Yang Mulia” bagi Hakim, dianggap tidak mencerminkan antara kenyataan dengan perbuatan yang mereka lakukan. Atau seperti kata pepatah, "jauh panggang dari api." Hal ini menimbulkan berbagai pembahasan yang bersifat sindiran yang sebenarnya tidak layak diterapkan kepada para hakim.  

“Berbagai penelusuran yang Kami peroleh banyak kelakar di masyarakat bersifat sindiran dengan sebutan ‘Yang mulia’ bagi hakim. Sedangkan perilakunya tidak mencerminkan sikap ‘Yang Mulia’. Kami KKPHA dan Perpahi merasa tidak nyaman dan prihatin,” ujar Harifin Tumpa.

Menurutnya, panggilan/sebutan “Yang Mulia” sesuai agama Islam mengandung makna ketaqwaannya, bukan karena jabatannya. Atau identik dengan nilai spiritual. Dia mengusulkan panggilan “Yang Mulia” lebih baik diganti dengan panggilan “Yang Terhormat”.

Dia memberi contoh dalam Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966 dimana telah mengatur  penggantian sebutan “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M), “Yang Mulia” (Y.M) Paduka Tuan (P.T) dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara-Saudari sebagaimana  tertera sebagai berikut:

Tags:

Berita Terkait