Sarat Kontroversi, Draft RUU Cipta Kerja Dinilai Perlu Diformulasi Ulang
Berita

Sarat Kontroversi, Draft RUU Cipta Kerja Dinilai Perlu Diformulasi Ulang

Draft RUU Cipta Kerja yang ada sekarang ini perlu diformulasi ulang dengan mengedepankan prinsip keterbukaan.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Gelombang penolakan atas pembahasan dan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kembali terjadi lagi. Hal itu terlihat dari aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terdiri dari buruh, petani hingga mahasiswa memenuhi jalanan di depan Gedung Parlemen, Kamis (16/7). 

Anggota DPD Fahira Idris menilai selain dinilai sarat kontroversi dan tidak mencerminkan keadilan bagi rakyat, proses penyusunan draft RUU Omnibus Law yang terkesan tertutup menjadi pangkal penolakan RUU ini.  Oleh karena itu, menurutnya, draft RUU Cipta Kerja yang ada sekarang ini perlu diformulasi ulang dengan mengedepankan prinsip keterbukaan.

Fahira mengungkapkan, pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi membuat kegaduhan baru di Indonesia. Pasalnya, RUU ini bersentuhan langsung dengan sendi-sendi kehidupan rakyat.  Saat ini, penolakan RUU Cipta Kerja sudah meluas ke berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya buruh, civil society, mahasiswa, dan akademisi tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan besar.

“Saya khawatir jika RUU Cipta Kerja tetap di bahas apa lagi disahkan di masa pandemi ini akan buat rakyat semakin resah dan melahirkan kegaduhan baru,” kata Fahira Idris dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Jumat (17/7).

Menurut Fahira, langkah bijak yang bisa diambil di masa pandemi ini adalah menunda pembahasan di semua klaster yang ada dalam RUU Cipta Kerja. “Sangat bijak jika baik Pemerintah maupun DPR bersedia memformulasikan ulang draft RUU ini dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan, setelah pandemi ini berakhir. Saat ini biar rakyat fokus dulu membantu Pemerintah memutus rantai penularan corona,” katanya.

Fahira menilai kontroversi yang mengitari RUU Cipta Kerja bukan hanya soal ketenagakerjaan, tetapi juga terkait klaster terkait investasi dan perizinan. Isu-isu dalam RUU ini mulai dari soal proses pengadaan tanah untuk kawasan non-pertanian yang berpotensi memasifkan alih fungsi lahan pertanian dan soal panjangnya masa izin HGU yang bisa diperoleh perusahaan perkebunan besar, juga menjadi biang keresahan rakyat.

Kontroversi termasuk juga soal aturan pembebasan lahan atas nama pembangunan yang tidak hanya terbatas untuk kepentingan umum dan pembangunan infrastruktur tapi juga kepentingan investor tambang, pariwisata, dan kawasan ekonomi khusus.

Tags:

Berita Terkait