Status Kepegawaian KPPU Dipersoalkan di MK
Berita

Status Kepegawaian KPPU Dipersoalkan di MK

Majelis meminta para pemohon memperjelas legal standing, kerugian konstitusional, dan dasar pengujian dengan menyebutkan pasal-pasal konstitusi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait eksistensi kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Permohonan ini diajukan Kamal Barok, Nurul Fadhilah, Erika Rovita Maharani, Melita Kristin BR, Helli Nurcahyo, dan M. Suprio Pratomo. Para Pemohon ini merupakan pegawai pada KPPU.

Kuasa Hukum Misbahuddin Gasma menilai hak konstitusional para pemohon telah dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut. “Hak konstitusional dimaksud hak untuk mendapat jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan tugas selaku pegawai KPPU terlanggar karena adanya permasalahan kelembagaan KPPU,” kata Misbahuddin dalam sidang pendahuluan yang dipimpin Suhartoyo bersama Arief Hidayat dan Saldi Isra di ruang sidang MK, Kamis (16/7/2020).

Selengkapnya, Pasal 34 ayat (2) UU 5/1999 menyebutkan “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.” Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 menyebutkan “Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut oleh keputusan Komisi.”

Menurut Pemohon, ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 membawa implikasi terhadap status kelembagaan KPPU yang belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian nasional. Selain itu, kata Misbahuddin, pengaturan kelembagaan dan sekretariat KPPU tidak memberi kepastian hukum sebagaimana pengaturan kelembagaan kesekretariatan pada lembaga nonstruktural lain yang sama-sama bersifat independen.

Dia menilai tidak satupun dalam UU 5/1999 yang secara eksplisit menjelaskan perihal pengangkatan pimpinan sekretariat, status pegawai sekretariat, atau pegawai sekretariat jenderal. “Frasa "sekretariat" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU 5/1999 dapat menimbulkan multitafsir karena menggunakan huruf “s” kecil, yang dapat ditafsirkan secara fungsi atau ditafsirkan secara jabatan,” kata Misbahuddin.

Menurutnya, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komisi sebagai lembaga negara independen yang bertanggung jawab kepada Presiden, sudah seharusnya frasa “sekretariat” ditafsirkan secara fungsi, sehingga harus dimaknai sebagai “Sekretariat Jenderal”.

Baginya, frasa “keputusan Komisi” tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan ketentuan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengatur susunan organisasi, tugas, dan fungsi kesekretariatan lembaga negara termasuk pengaturan kepegawaian.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait