Hakim Yustisial Persoalkan Kedudukan Pengadilan Pajak
Utama

Hakim Yustisial Persoalkan Kedudukan Pengadilan Pajak

Pemohon meminta agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak dialihkan dari Kementerian Keuangan ke MA sesuai Putusan MK No. 6/PUU-XIV/2016 yang menilai kedudukan pengadilan pajak berada di bawah kekuasaan MA.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Hakim Yustisial Kamar TUN pada Mahkamah Agung (MA) Teguh Setya Bhakti yang ikut membantu proses penyelesaian perkara peninjauan kembali (PK) perkara pajak dalam kedudukan sebagai panitera pengganti mempersoalkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak melalui uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini resmi didaftarkan di Kepaniteraan MK pada Rabu (8/7/2020) kemarin.  

Teguh merasa dirugikan atas berlakunya pasal itu karena mengganggu kemandirian badan peradilan. Kuasa Hukum Pemohon, Victor Santoso Tandiansa menilai Pasal 5 Pengadilan Pajak itu telah mengurangi hak konstitusional pemohon yang menjadi bagian dari hakim yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa perpajakan. Sebab, selama ini pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan pengadilan pajak masih di bawah kekuasaan Kementerian Keuangan, bukan MA.   

Hal ini menurut Pemohon melanggar prinsip kemerdekaan/kemandirian kekuasaan kehakiman dan membuat MA menjadi tidak bisa melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pada pengadilan pajak. Misalnya, selama ini proses rekrutmen hakim pajak dan personil pengadilannya menjadi monopoli Kemenkeu.

“Ketentuan ini telah men-down grade MA dalam kedudukannya sebagai peradilan tertinggi. Hal ini berdampak sistemik pada bertumpuknya perkara PK sengketa pajak. Saat yang sama, MA tidak dapat melakukan pembinaan secara organisasi, administrasi, dan finansial terhadap pengadilan pajak,” kata Victor kepada Hukumonline, Jumat (10/7). (Baca Juga: Pemerintah: Mekanisme Pengangkatan Pimpinan Pengadilan Pajak Konstitusional)

UU Pengadilan Pajak

Pasal 5 ayat (1), yang menyatakan:

“Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Terhadap frasa “Pembinaan teknis peradilan” bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk “Organisasi, administrasi dan Keuangan.”

Pasal 5 ayat (2), yang menyatakan:

"Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan" bertentangan dengan UUD 1945

Pasal 5 ayat (3), yang menyatakan:

"Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak." Terhadap frasa “dan ayat (2)” bertentangan dengan UUD 1945

Victor menjelaskan Pasal 5 UU Pengadilan Pajak hanya memberi pembinaan teknis kepada MA. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan menjadi kewenangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan. Hal ini telah nyata-nyata melanggar kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijamin Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 baik pengadilan pajak maupun personal hakimnya.

Dia mengingatkan Putusan MK No. 6/PUU-XIV/2016 telah memberi tafsir terkait konstitusionalitas status/kedudukan pengadilan pajak. Dalam putusan itu, MK secara tegas menilai kedudukan pengadilan pajak berada di bawah kekuasaan MA sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 (one roof system).  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait