3 Dampak RUU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan
Berita

3 Dampak RUU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan

Salah satunya melemahkan efektivitas penegakan hukum karena pengawasan ketat hanya dilakukan terhadap kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pemandangan laut dan perahu nelayan. Foto: MYS
Pemandangan laut dan perahu nelayan. Foto: MYS

Reses tidak menjadi hambatan bagi badan legislasi (baleg) DPR untuk terus membahas RUU Cipta Kerja padahal sudah banyak kritik dan demonstrasi yang dilakukan masyarakat. Salah satu substansi yang masuk dalam RUU Cipta Kerja yakni sektor kelautan dan perikanan. Director of International Engagement and Policy Reform, Indonesia Ocean Justive Initiative, Stephanie Juwana, mencatat ada sejumlah hal yang bakal diatur oleh RUU Cipta Kerja di sektor kelautan dan perikanan yakni perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan serta penegakan hukum.

Untuk perencanaan, Stephanie melihat RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan mengenai perencanaan tata ruang, amdal, dan menghapus Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan). Dalam hal pemanfaatan, yang diubah antara lain perubahan pendekatan perizinan menjadi risk based approach, dan menarik kewenangan dari daerah ke pusat. Mengenai pengawasan dan penegakan hukum, RUU Cipta Kerja mengutamakan sanksi administratif, menambah sanksi pidana, dan mengubah defenisi nelayan kecil.

Dari perubahan tersebut Stephanie mencatat sedikitnya ada tiga dampak jika RUU Cipta Kerja ini diterbitkan. Pertama, orientasi sektor kelautan dan perikanan menghambat pembangunan berkelanjutan. Ini dapat dilihat dari diubahnya izin lingkungan menjadi persetujuan. Padahal perizinan ini ditujukan sebagai upaya preventif. Begitu juga penghapusan Komnas Kajiskan, hal ini mengurangi esensi best scientific evidence available.

(Baca juga: Ini Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja Terhadap Publik).

Kedua, berkurangnya pelibatan masyarakat dan keberpihakan terhadap masyarakat termarjinalkan yang perlu dilindungi. RUU Cipta Kerja menghapus Komisi Amdal dan membatasi masyarakat yang dapat terlibat dalam penyusunan amdal yakni hanya yang terdampak langsung. Perubahan terhadap defenisi nelayan kecil memberi ketidakpastian hukum, dan tidak ada penguatan pemberdayaan dan perlindungan nelayan kecil, petambak garam, pembudidaya kecil, dan anak buah kapal (ABK).

Ketiga, melemahkan efektivitas penegakan hukum karena perizinan diubah menjadi pendekatan berbasis risiko. Melalui pendekatan ini Stephanie menjelaskan izin dan pengawasan ketat hanya dikenakan kepada perusahaan yang usahanya masuk kategori risiko tinggi. Usaha risiko sedang hanya perlu mengantongi nomor induk berusaha dan sertifikat standar. Untuk melaksanakan pendekatan ini perlu lembaga yang kuat dan kredibel dalam menilai risiko usaha tersebut.

“Jika lembaga penilai itu tidak melakukan penilaian secara kredibel maka bisa jadi nanti usaha yang berisiko tinggi malah dianggap risiko sedang, sehingga pengawasan tidak ketat dan risiko yang ditimbulkan nanti besar,” kata Stephanie dalam diskusi yang diselenggarakan PSHK berjudul “Pelindungan Nelayan dan Tenaga Kerja Sektor Kelautan dan Perikanan dalam RUU Cipta Kerja,” Jumat (7/8).

Stephanie memaparkan selama ini tingkat kepatuhan pelaku usaha sektor perikanan masih menjadi PR besar. Dia khawatir RUU Cipta Kerja makin melemahkan pengawasan terhadap kepatuhan pelaku usaha, apalagi ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pelaksana.

Tags:

Berita Terkait