Lantaran Covid-19, Jimly Sarankan Omnibus Law Cipta Kerja Ditunda
Berita

Lantaran Covid-19, Jimly Sarankan Omnibus Law Cipta Kerja Ditunda

Covid-19 mengubah tatanan kehidupan secara signifikan, sehingga penyusunan RUU Cipta Kerja yang dilakukan sebelum pandemi dinilai tidak lagi relevan.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Pakar hukum tata negara, Prof Jimly Asshidiqie, dalam Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES
Pakar hukum tata negara, Prof Jimly Asshidiqie, dalam Webinar Omnibus Law dalam Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU CIpta Kerja terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Foto: RES

Pakar hukum tata negara, Prof Jimly Asshidiqie, menyarankan pembahasan RUU Cipta Kerja sebaiknya ditunda oleh pemerintah dan DPR. Salah satu penyebabnya, muatan RUU Cipta Kerja sudah tidak relevan saat ini karena penyusunannya dilakukan sebelum pandemi Covid-19, sehingga terdapat muatan dalam rancangan aturan tersebut tidak dapat diterapkan pasca-pandemi.

“Saya bilang Covid-19 mengubah wajah politik dan dunia. Maka RUU Cipta Kerja yang disusun sebelum Covid menjadi tidak relevan. Dievaluasi dulu RUU ini. Ketika semua pelaku bisnis dunia meng-adopt sustainable development tiba-tiba mau merusak lingkungan hidup semaunya. Jadi, ini ditunda dulu terlebih lagi waktu efektif tahun ini tinggal tiga bulan sehingga lebih baik ditunda dulu,” jelas Jimly dalam Webinar Omnibus Law bertopik Perspektif Good Legislation Making dan Implikasi RUU Cipta Kerja Terhadap Pembangunan Kelautan Berkelanjutan, Rabu (19/8).

Dia mengatakan pemerintah perlu memperbaiki muatan RUU Cipta Kerja agar lebih menjawab kebutuhan pasca-pandemi Covid-19. Selain itu, dia mengusulkan agar pemerintah memisahkan RUU Cipta Kerja berdasarkan topiknya sehingga ruang pembahasannya lebih fokus. Terlebih lagi, saat pandemi ini proses pembahasan RUU Cipta Kerja dinilai tidak optimal karena pembatasan sosial berskala besar.

Di sisi lain, Jimly mengatakan metode omnibus law baik diterapkan pada sistem hukum di Indonesia. Dia menilai penataan hukum di Indonesia tidak jelas karena banyak peraturan secara de jure masih berlaku tapi de facto tak diterapkan. Sehingga, dia berharap metode omnibus ini dapat memperbaiki ketidakjelasan hukum tersebut. (Baca Juga: Menyoal Good Legislation Making dalam Penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja)

“Omnibus teknik ini sebagai metode baik dan tepat untuk dipraktikan dalam penataan hukum. Karena Indonesia data hukumnya tidak jelas, banyak data (hukum) de jure berlaku tapi de facto tidak lagi.  Namun, omnibus ini bukan hanya urusan ekonomi seharusnya yang di-omnibus kan itu “semua” sistem hukum. Makanya, saat pidato Pak Jokowi mengenai omnibus itu keliru,” jelas Jimly.

Dia menyarankan agar pemerintah menerapkan metode omnibus law pada regulasi yang ruang lingkupnya tidak luas seperti ekonomi. “Jangan begitu diterapkan (RUU) tebal sekali, banyak sekali, maunya cepat dan menyangkut hak-hak warga negara atau publik,” jelas Jimly.

10 Alasan

Permintaan penundaan RUU Cipta Kerja juga disampaikan secara resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga tersebut merekomendasikan agar pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dilanjutkan dengan beragam alasan. Dalam berita Hukum Online sebelumnya, Wakil Ketua Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menilai RUU Cipta Kerja bersinggungan langsung dan berpotensi mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Ada 10 alasan yang membuat Komnas HAM berkesimpulan pembahasan RUU Cipta Kerja layak dihentikan.

Tags:

Berita Terkait