Proteksionsime Berlebihan Produk Asing Berisiko Lukai UMKM
Terbaru

Proteksionsime Berlebihan Produk Asing Berisiko Lukai UMKM

Kontrol harga melalui instrumen bea masuk terhadap barang impor seringkali dinilai sebagai opsi yang cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol kuantitas.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu menyampaikan rencana pemerintah membatasi kuota barang impor antara lain untuk melindungi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari praktik predatory pricing penjual asing, berisiko melukai pelaku usaha. Kebijakan proteksionisme dan diskriminasi berlebihan terhadap produk asing justru dapat berdampak negatif, baik kepada konsumen maupun UMKM, khususnya para pedagang eceran yang mengandalkan pendapatan pada penjualan produk impor.

Rencana pembatasan kuota barang impor akan dilakukan melalui merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha. Meskipun belum ada kepastian perihal pasal-pasal yang akan direvisi, terdapat indikasi bahwa perubahan akan dipusatkan pada isu hak kekayaan intelektual dan penetapan batas maksimal bagi produk asing yang diperdagangkan di pasar online

Thomas menilai sebelum membahas opsi kebijakan yang tersedia, Kementerian Perdagangan (Kemendag) bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) perlu lebih dahulu memvalidasi isu tarif predator (predatory pricing) penjual asing yang menjadi dasar pertimbangan rencana revisi Permendag ini. Ini perlu dilakukan mengingat sangat sulit menentukan apakah harga jual murah sebuah produk disebabkan oleh praktik tarif predator atau memang karena sistem produksi yang efisien. 

Dia mengatakan revisi Permendag perlu memperjelas perbedaan antara peredaran barang impor dan transaksi jual-beli lintas negara di pasar digital.  Data Kementerian Perindustrian, dan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperlihatkan 90 persen barang yang diperjualbelikan di pasar online merupakan produk impor. (Baca Juga: Pemerintah Longgarkan Kriteria Fasilitas Penjaminan untuk Korporasi) 

Namun, beberapa marketplace besar mengatakan bahwa sejauh ini transaksi dalam negeri masih mendominasi aktivitas perdagangan di platform mereka. Hal ini menunjukkan bahwa peredaran barang impor di pasar online Indonesia hampir seluruhnya dilakukan oleh retailer UMKM lokal dan bukan oleh penjual internasional melalui transaksi lintas negara. 

Dengan demikian, pembatasan jumlah peredaran barang asing di pasar online sangat mungkin hanya akan melukai retailer lokal yang bergantung pada produk impor sebagai komoditas utama usaha mereka.

“Selain itu, perlu diingat bahwa produk lintas negara yang ditransaksikan secara online juga telah dibebankan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN). Jika sebelumnya terdapat kelonggaran bea masuk terhadap barang impor kiriman dengan nilai transaksi di bawah US$75, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 199/PMK.010/2019 telah mempersempit akses fasilitas tersebut hanya untuk barang impor kiriman dengan nilai transaksi kurang dari US$3,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait