Disinyalir Perkara Harini Didesain Sejak Proses Penyidikan
Eksaminasi Publik Putusan Harini

Disinyalir Perkara Harini Didesain Sejak Proses Penyidikan

Menurut Prof. J.E. Sahetapy, para terdakwa seperti wayang yang digerakkan. Awasi hakim agung yang menangaini perkara Harini.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Disinyalir Perkara Harini Didesain Sejak Proses Penyidikan
Hukumonline

 

Selain dianggap inkonsisten, KPK juga dianggap tidak optimal dalam menguraikan fakta. Majelis eksaminasi menilai dakwaan yang disusun tidak menggambarkan secara jelas arah tindak pidana. Dakwaan hanya memaparkan perjalanan uang dari tangan Probosutedjo. Tidak selesai sampai di situ, secara materiil, dakwaan yang disusun JPU menurut majelis eksaminasi mengandung kelemahan dan rawan dinyatakan obscuur libel (dakwaan kabur).

 

Tidak hanya JPU, majelis hakim pun tidak luput dari kritik majelis eksaminasi. Majelis eksaminasi yang terdiri dari RM Mirada (dosen Universitas Pakuan Bogor), Rudy Satriyo Mukantardjo dan Junaedi (dosen Universitas Indonesia), Chairul Imam (mantan Jaksa) serta Emerson Yuntho (ICW) menyatakan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara kurang optimal dalam membuat putusan.

 

Majelis hakim menurut majelis eksaminasi tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran materiil dalam perkara Harini. Misalnya saja, majelis hakim tidak mengorek lebih lanjut apa materi pembicaraan dalam pertemuan antara Harini dan Bagir. Berdasarkan pengakuan Harini dalam persidangan, dirinya sempat bertemu dengan Bagir. Diakui Harini, dalam pertemuan itu dirinya sempat membicarakan perkara Probosutedjo kepada Bagir. Bagir sendiri saat itu, menurut Harini hanya tersenyum masam. Apa arti senyum masam, itu yang tidak dicari kejelasannya, ungkap Firmansyah Arifin, Koordinator KRHN.

 

Selain itu, majelis juga luput untuk memastikan benar tidaknya dua hakim agung Parman Soeparman dan Usman Karim menerima suap. Karena dalam persidangan terungkap, Parman dan Usman yang menjadi pembaca satu dan dua dalam perkara kasasi Probosutedjo dinyatakan 'beres'.

 

Disisi lain, penolakan Ketua Majelis, Kresna Menon untuk menghadirkan Bagir dengan dasar Surat Edaran MA memperkuat anggapan majelis eksaminasi. Majelis juga menyayangkan ungkapan Bagir yang tidak datang sebagai saksi dengan dalih belum dipanggil pengadilan. Kalau memang tidak bersalah ngapain takut jadi saksi, apalagi pakai konvensi-konvensi internasional kritik Sahetapy kepada Bagir.

 

Menariknya, majelis eksaminasi juga mengomentari peran Probosutedjo dalam perkara Harini. Jika membaca dakwaan JPU pasti semua orang berpendapat Probosutedjo seharusnya jadi tersangka Yang berpendapat tidak saya anggap buta huruf, ucap Chairul Imam.

 

Mantan Jaksa itu berpendapat peran Probosutedjo jauh lebih besar ketimbang lima pegawai MA yang menjadi tersangka dalam perkara.

 

Reposisi Majelis

Selain membahas substansi perkara dari mulai dakwaan, tuntutan dan putusan, majelis eksaminasi juga mencermati perihal komposisi majelis pengadilan Tipikor. Menurut Firmansyah, kebiasaan hakim karir menjadi Ketua majelis hakim pengadilan Tipikor perlu diubah. Apalagi jika kasus yang ditangani diduga kuat sebagai kasus judicial corruption (korupsi peradilan)

 

Mengapa demikian, pasalnya pihak-pihak yang berada dalam jejaring judicial corruption memanfaatkan jaringan di instansinya. Biasanya, mereka memanfaatkan situasi terdahulu. Misalnya memanfaatkan hubungan senior-junior atau bahkan atasan dan bawahan. Dalam perkara Harini, meski tidak pernah bekerja secara bersama pada tempat dan waktu yang sama, jelas Harini adalah senior dari Kresna Menon sebagai Ketua Majelis. Dalam kaitannya dengan pemangilan Bagir, Bagir jelas atasan Kresna Menon. Kesimpulannya, perkara Harini ini sarat intrik esprit de corps.

 

Selain soal reposisi, Firmansyah melontarkan gagasan untuk mengkaji kembali peran dari ketua majelis. Masih mengacu pada perkara Harini, Firmansyah menganggap kewenangan tersebut terlalu besar dan tidak jelas. Apa yang dikatakan Firmansyah ini sebenarnya pernah dilontarkan oleh Achmad Linoch, salah satu hakim ad hoc pengadilan Tipikor.

 

Dalam suatu kesempatan, Linoch yang mempelopori aksi WO dengan nada tinggi menuding Kresna Menon sebagai ketua majelis yang otoriter.

 

Rekomendasi 

Eksaminasi publik yang dilakukan KRHN dan beberapa pakar ini membuat beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada KPK dan MA.

 

Kepada KPK, majelis eksaminasi merekomendasikan agar KPK melakukan eksaminasi terhadap produk surat dakwaan dan tuntutan melalui sebuah pemaparan JPU yang menangani perkara ini ke pimpinan KPK. Selanjutnya, hasilnya diumumkan kepada publik.

 

Untuk meningkatkan profesionalitas, KPK didorong untuk melakukan pendidikan dan latihan khusus di bidang tipikor.

 

Sama seperti KPK, majelis eksaminasi meminta agar MA juga melakukan eksaminasi putusan. MA direkomendasikan untuk mengawasi majelis hakim tingkat kasasi yang menangani perkara Harini agar berperan tidak hanya sebagai judex juris tapi juga judex factie. MA juga didorong menindaklanjuti rekomendasi KY terhadap dua hakim karir dalam perkara Harini (Kresna dan Sutiyono).

 

Memang sebagai suatu kajian, eksaminasi ini tidak mempunyai implikasi yuridis apapun dalam perkara Harini. Namun demikian, eksaminasi publik yang dilakukan secara fair dan profesional dapat memberikan dampak sosial yang luar biasa besar dalam penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.  

 

Perkara Harini Wijoso dalam perkara dugaan mempengaruhi Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan memang telah diputus. Lewat sebuah proses peradilan yang panjang, -disertai aksi Walk Out (WO), sanksi yang dijatuhkan MA maupun KY sampai pergantian majelis hakim- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan.

 

Kendati demikian kontroversi perkara yang melibatkan pengusaha kesohor Probosutedjo dan menyeret nama Bagir terus berlanjut. Lewat sebuah eksaminasi publik putusan Harini, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) kembali menggelindingkan perkara tersebut.

 

Setelah beberapa lama mengkaji, Senin (28/8) majelis eksaminasi yang terdiri dari unsur akademisi, aktifis LSM dan mantan praktisi ini memaparkan hasil kajiannya. Dalam kajiannya, majelis eksaminasi mensinyalir sebuah desain atau rekayasa dalam perkara Harini Wijoso yang mantan hakim tinggi itu.

 

Bahkan, Prof. JE Sahetapy, guru besar emeritus Universitas Airlangga yang hadir dalam diskusi publik soal eksaminasi berpendapat, perkara Harini adalah sebuah sandiwara. Mereka semua seperti wayang yang digerakkan, ucap Sahetapy.

 

Ini sudah didesain hasilnya seperti ini dan paling masuk akal dilakukan ditingkat penyidikan, ujar Junaedi, salah satu anggota majelis eksaminasi yang juga pengajar hukum acara pidana Universitas Indonesia. Hal ini imbuh Junaedi menunjukkan inkonsistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tags: