Biar Adil Sama Si Kecil
RUU UMKM:

Biar Adil Sama Si Kecil

Pengaturan usaha mikro, kecil, dan menengah perlu satu payung Undang-Undang. Soal definisi, modal dan perizinan jadi perhatian.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
Biar Adil Sama Si Kecil
Hukumonline

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat satu langkah maju. Rancangan Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (RUU UMKM) mulai menapak ke pintu masuk pembahasan. Disampaikan presiden minggu lalu, diharapkan RUU ini bisa selesai setidaknya pada akhir tahun ini. RUU ini memang termasuk prioritas 2007 Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

 

Adanya UU UMKM begitu penting. Tentu saja kalangan wong cilik menanti lahirnya jabang bayi ini. Wajar saja, kementerian yang bermarkas di bilangan Kuningan ini punya data menarik. UMKM saat ini mencapai hampir 50 juta unit. Jumlahnya menghiasi 99,98% total jumlah usaha. Tenaga kerja yang ditampung pun mencapai 85,4 juta kepala. Angka segitu setara dengan 96,18% seluruh tenaga kerja. Meski diakui sebagai bumper penyelamat angka pengangguran, toh sektor informal ini seringkali kurang dilirik oleh pembuat kebijakan. Mulai dari bidang permodalan, perizinan sampai jaminan berusaha.

 

Memang kita sudah punya UU Nomor 9 Tahun 1995. Namun, UU tersebut hanya mengatur usaha kecil, padahal, roda perekonomian makin berputar dinamis. UU No. 9/1995 dinilai sempit dan cuma mengatur usaha cilik. Sedangkan usaha menengah malah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.

 

Oleh karena itu, pemberdayaan UMKM perlu kita tingkatkan dengan pemberian satu payung landasan hukum, ungkap Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Suryadharma Ali dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (22/5). RDPU saat ini memang tidak membahas spesifik RUU tersebut, namun membahas kinerja kementerian yang bermarkas di bilangan Kuningan tersebut. Kemarin RDPU kembali digelar dan membahas pandangan awal dari fraksi-fraksi terhadap RUU UMKM.

 

Karena banyak versi yang mendefinisikan UMKM, RUU ini bakal menjawab simpang-siur penetapan karakter tersebut. RUU ini memakai unsur aset bersih atau hasil penjualan tahunan sebagai kriteria utama, ujar Surya. Menurut Surya, penetapan kriteria besaran kekayaan bersih dan omzet tahunan ada dasarnya. Kriteria sudah ada sejak 1995. Kita hitung kurs dolar pada waktu itu, bandingkan dengan sekarang.

 

Definisi dan Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Kriteria

Usaha Mikro

Usaha Kecil

Usaha Menengah

Bentuk usaha

Orang perseorangan

Perseorangan/ badan usaha

Bukan afiliasi usaha menengah/besar

Perseorangan/ badan usaha

Bukan afiliasi usaha besar

Kekayaan bersih

< Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan

Rp50 juta – Rp500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan

Rp500 juta – Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan

Omzet tahunan

< Rp300 juta

Rp300 juta – Rp2,5 miliar

Rp2,5 miliar – Rp50 miliar

Sumber: Draft RUU UMKM hasil akhir harmonisasi Dephukham, 5 Oktober 2006

Fraksi Kebangkitan Bangsa menanyakan metode penetapan kriteria masing-masing kelas usaha. Misalnya, usaha kecil. Segmen ini setidaknya beromzet Rp2,5 miliar setahun (Pasal 5). Apa dasarnya? Seharusnya Rp1,5 miliar setahun, usul Choirul Sholeh Rasyid.

 

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, yang mendukung Surya maju di dalam kabinet, tak kalah kritisnya. Jika ada perubahan angka penetapan kriteria, mengapa diatur dalam sebuah Perpres (Pasal 5 ayat (4))? Bukannya Peraturan Pemerintah yang setingkat di bawah UU? tanya Zainut Tauhid Sa'adi.

 

Karena itu, Fraksi Partai Amanat Nasional mengusulkan hal ini harus dibahas mendalam. Penetapan kriteria jangan sampai rancu, ujar Mardiana Indraswati. Selain itu, Mardiana mengusulkan adanya arah kebijakan yang berkelanjutan.

 

Kemudahan Modal dan Perizinan

Anggota Komisi VI Idealisman Dachi menekankan kemudahan akses modal dan perizinan. Anggota dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) ini berharap, UMKM dapat memperoleh akses modal dengan cepat. Misalnya dengan pemberian kredit tanpa agunan. Ia menyadari pinjaman tanpa jaminan berbunga tinggi, bahkan bisa tiga kali bunga perbankan. Namun, Yang penting adalah kemudahan memperoleh dana segar dahulu, tuturnya. Dachi berargumen, setinggi apapun bunganya toh UMKM masih bisa eksis. Lebih baik memang berbunga rendah, sambungnya.

 

[Kementrian UKM] menyitir data Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan realisasi kredit bagi usaha cilik pada 2006-2007 justru melorot 2,3 persen. Padahal, di satu sisi, ada sekitar Rp230 triliun dana yang mandek di Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

 

Lili Asdjudiredja juga berharap RUU ini menampung kemudahan akses modal abagi UMKM. Misalnya pemberian kredit tanpa agunan. Namun, Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Golkar ini kurang antusias membahas lembaga penjamin kredit bagi UMKM. Menurutnya, wacana tersebut sudah ada sejak era Presiden Megawati Sukarnoputri, namun tak kunjung mewujud.

 

Mungkin karena itu FKB mengusulkan adanya penegasan nilai pembiayaan UMKM oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Tentukan saja berapa persen dari APBN atau APBD, ujar Choirul.

 

FKB juga menyoroti berbagai langkah pemerintah yang justru mematikan usaha cilik. Misalnya, perizinan pasar modern, penggusuran pedagang kaki lima (PKL), dan impor pakaian jadi dari China. Dalam hal itu, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai RUU ini belum tegas melindungi UMKM. RUU ini mestinya tegas melindungi UMKM dari kesewenangan aparat pemerintah seperti polisi, tramtib, dan satpol PP, cetus Aria Bima.

 

Tentang perizinan, ternyata bahasa ‘satu pintu' sedang laris manis. Pasal 11 menyatakan, kemudahan perizinan diberikan dengan penyederhanaan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan satu pintu. Menanggapi hal tersebut, Dachi langsung menengok Undang-undang tentang Penanaman Modal. UU yang sudah disahkan itu menyatakan satu pintu hanya dipegang oleh satu lembaga. Jangan ada pintu yang lain. Yang dimaksud satu lembaga adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Lembaga pemberi izin tersebut juga harus cepat melayani. Jika terlambat, kita usulkan adanya sanksi, desak Dachi. Namun, Dachi belum bisa membeberkan bentuk sanksinya.

 

Kemitraan, Pengadaan

RUU UMKM ini mencoba mendorong kemitraan UMKM dengan usaha besar. Kemitraan tersebut mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasara, permodalan, sumberdaya manusia, serta teknologi (Pasal 25).

 

Pola kemitraan bisa berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, keagenan, dan bentuk kemitraan lainnya. Bentuk lain yang dimaksud adalah bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing) (Pasal 26).

 

Pelaksanaan kemitraan ini setidaknya tertuang dalam perjanjian tertulis. Kesepakatan tersurat itu setidaknya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, serta penyelesaian perselisihan (Pasal 34).

 

RUU ini juga hendak menjamin kesempatan UMKM untuk menyediakan stok bagi instansi pemerintah yang sedang berbelanja barang dan jasa. Jika ada pihak yang menyalahgunakan nama UMKM untuk memenangkan tender tersebut, akan dikenai sanksi pidana 5 tahun atau denda paling banyak Rp10 miliar. Sanksi ini juga berlaku bagi pihak yang kurang pantas memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha atas nama UMKM.

 

RUU Koperasi

Kementerian Koperasi dan UKM juga sedang menyiapkan RUU Koperasi yang diutamakan dalam Prolegnas 2007. Di samping itu, masih ada 30 RUU luncuran (carry over) periode 2005-2006 yang belum sempat kelar.

 

Saya harap keduanya bisa selesai tahun ini, jelas Surya. Sayang, sampai kini RUU Koperasi masih belum banyak disentuh. Oh, itu belum dibahas, ungkap Surya memungkasi perbincangan.

Tags: