Simpang Siur Biaya Perkara di PHI
Berita

Simpang Siur Biaya Perkara di PHI

Undang-undang tegas menyebutkan biaya perkara dikenakan pada gugatan yang nilainya di atas Rp150 juta. Di lapangan, penafsirannya beragam.

Oleh:
IHW/Rzk
Bacaan 2 Menit
Simpang Siur Biaya Perkara di PHI
Hukumonline

 

Praktik lapangan

Pengalaman terkini seputar kusutnya biaya perkara di PHI, dirasakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Para punggawa LBH Pers itu malah harus beradu urat leher dengan beberapa pihak, seperti kepaniteraan PHI maupun Mahkamah Agung, mengenai biaya perkara.

 

Masalah yang dialami LBH Pers sebenarnya terbilang ‘sepele'. LBH Pers adalah kuasa hukum dari Bambang Wisudo, seorang wartawan, yang digugat PHK oleh Kompas. Dalam putusannya, selain menyatakan sahnya PHK dengan kompensasi PHK yang berhak diterima Bambang, hakim juga menyatakan agar biaya perkara ditanggung kedua pihak. Jumlahnya memang tidak terlalu ‘besar'. Baik Bambang maupun Kompas ‘hanya' menanggung masing-masing sebesar Rp200 ribu.

 

Hakim PHI sendiri memiliki alasan hingga membebankan biaya perkara kepada para pihak. Meski awalnya gugatan Kompas hanya bernilai Rp32,5 juta, hakim dalam putusannya menyatakan kompensasi yang berhak diterima Bambang adalah sejumlah Rp167,4 juta. Karena lebih dari Rp150 juta, hakim membebankan biaya perkara kepada para pihak.

 

Sebenarnya LBH Pers bukan mempermasalahkan jumlah biaya perkara yang mesti ditanggung. Kami mempersoalkan pembebanannya yang tidak sesuai dengan undang-undang, ujar Sholeh Ali, Kadiv Litigasi LBH Pers awal pekan lalu.

 

Dalam perkara Bambang Wisudo itu, hakim berpedoman pada jumlah nominal yang tertera pada putusan, bukan gugatan. Berdasarkan pengamatan hukumonline di PHI Jakarta, perkara serupa pernah terjadi beberapa kali.

 

Sulit untuk kasasi

Kekecewaan Sholeh Ali terhadap praktik di PHI makin bertambah ketika ia berkeras untuk tidak membayar biaya perkara. Wong, putusannya belum inkracht (berkekuatan hukum tetap, red). Makanya kami tidak membayar biaya perkara itu.

 

Tidak hanya itu. Ketika kubu Bambang Wisudo melayangkan upaya hukum kasasi karena tidak puas dengan putusan hakim, LBH Pers juga tidak membayar biaya untuk berperkara di tingkat kasasi. Kami tidak membayar karena kami berpatokan pada gugatan awal penggugat yang jumlahnya dibawah Rp150 juta, demikian Ali.

 

Tindakan LBH Pers yang mengabaikan biaya perkara itu kemudian berbalas. Mahkamah Agung mengembalikan berkas memori kasasi atas nama Bambang Wisudo karena tidak dilengkapi dengan tanda bukti pembayaran biaya perkara. Menurut Ali, MA juga merujuk pada nilai putusan, bukan nilai gugatan.

 

LBH Pers awalnya tidak menyerah. Rute PHI Jakarta – Mahkamah Agung makin sering mereka sambangi demi kejelasan biaya perkara itu. Hasilnya, PHI Jakarta mengaku hanya menjalankan mandat dari MA. Sementara MA melalui Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata tidak memberi respon positif.

 

Tak ingin perkara kliennya menggantung di tingkat kasasi, LBH Pers melunak. Mereka kemudian membayarkan sejumlah kewajiban termasuk biaya perkara untuk tingkat kasasi sebesar Rp1,5 juta. Daripada perkara kita nggak dikasih nomor registrasi dan diproses kasasinya, cetus Endar Sumarsono, kuasa hukum Bambang Wisudo yang lain.

 

Beda Tafsir

Plt Panitera Muda PHI Jakarta, Tri Widodo, kepada hukumonline, mengaku berada dalam posisi sulit jika menemukan kasus yang mirip dengan perkara Bambang Wisudo ini. Iya, kita yang repot. Undang-undang mengatakan biaya perkara dihitung berdasarkan gugatan. Sementara hakim dan MA pendapatnya lain.

 

Andriani Nurdin, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang membawahi PHI Jakarta, mengaku sudah menginstruksikan kepada kepaniteraan agar menghitung biaya perkara berdasarkan nilai gugatan. SK KPN (Surat Keterangan Ketua Pengadilan Negeri, red) pokoknya harus didasarkan pada gugatannya. Kalau mau lihat SK-nya datang saja ke kantor saya, ujarnya.

 

Djoko Sarwoko, Juru Bicara Mahkamah Agung yang juga Hakim Agung, membantah tudingan MA menerapkan standar ganda dalam penerapan biaya perkara. MA mengikuti saja undang-undangnya bagaimana. Berdasarkan gugatan kan? jawabnya melalui telepon, pekan lalu.

 

Lebih jauh Djoko menilai bahwa hakim yang membebankan biaya perkara berdasarkan putusan, adalah tindakan yang keliru. Tapi harap dimaklumi. Ini kan undang-undang dan peradilannya baru, jadi masih dimungkinkan terjadinya multi penafsiran.

 

Mengenai perkara yang tidak diregistrasi dan diproses kasasinya sebelum biaya perkara dilunasi, Djoko juga membantahnya. Laporkan ke saya atau ke (Ketua Muda bidang) Pengawasan jika ada perkara yang diperlakukan seperti itu."

 

Keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai salah satu lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, tampaknya masih belum diapresiasi secara penuh oleh para pihak yang berperkara.

 

Sebagian kalangan buruh maupun aktivis buruh menilai PHI masih 'jauh panggang dari api' sebagai tempat mencari keadilan. Alasannya beragam. Ada yang menyatakan bahwa PHI masih terlalu kaku menerapkan hukum acara perdata. Ada juga yang berpandangan bahwa PHI memang disetting sedemikian rupa untuk memecah konsentrasi dan aktivitas suatu serikat pekerja.

 

Isu miring lain yang menyinggung keberadaan PHI adalah seputar biaya perkara. Pasal 58 UU Ketenagakerjaan sejatinya sudah menegaskan tiap gugatan yang nilainya di bawah Rp150 juta, tidak dikenakan biaya perkara. Ketentuan ini adalah pengecualian dalam peradilan perdata pada umumnya. Seperti diketahui, dalam peradilan perdata, biaya perkara awalnya pasti dikenakan pada pihak yang mengajukan gugatan.

 

Selintas, ketentuan Pasal 58 UU Ketenagakerjaan seakan menguntungkan para buruh  biru yang secara ekonomi umumnya tidak mampu membayar biaya perkara. Namun di sisi lain, kebijakan untuk melimpahkan biaya perkara ke negara dipandang sebagai kebijakan yang tidak tepat. Pandangan terakhir malah dilontarkan langsung oleh pejabat tertinggi lembaga yudikatif, Bagir Manan, akhir tahun lalu. Ketua MA itu malah berpandangan agar negara tidak memikul beban perkara PHI.

Tags: