KPU Butuh Payung Hukum Buat Keterwakilan Kaum Hawa
Berita

KPU Butuh Payung Hukum Buat Keterwakilan Kaum Hawa

Sistem suara terbanyak dikhawatirkan bisa memberangus keterwakilan perempuan dalam parlemen. Peraturan KPU untuk menyiasati masalah itu sudah siap dipublish. Kini tinggal menunggu Perppu-nya.

Oleh:
CR4/Fat
Bacaan 2 Menit
KPU Butuh Payung Hukum Buat Keterwakilan Kaum Hawa
Hukumonline

 

Seperti diketahui, polemik ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya tanggal 23 Desember 2008, membatalkan sistem nomor urut dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Putusan itu seputar kewenangan KPU dalam mengeluarkan peraturan pemilu terkait keterwakilan kaum perempuan dalam parlemen.

 

Ada yang berpendapat bahwa putusan MK setara dengan UU, jadi tidak perlu lagi ada Perppu dan tidak perlu ada revisi UU-nya. Pendapat lainnya adalah KPU tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatur kalau belum ada perintah pengaturannya berupa UU. Sebab KPU bukanlah pembuat UU melainkan pelaksana UU.

 

Hafiz menegaskan pihaknya sudah menyiapkan peraturan KPU soal keterwakilan perempuan. Hingga saat ini, kata dia, pihaknya masih menanti disahkannya Perppu sebagai payung hukum dari peraturan KPU tadi. Jika (Perppu) sudah disetujui, maka tinggal dijalankan (peraturan KPU). Tetapi itu semua kembali lagi kepada disetujui atau tidaknya Perrpu yang akan diperjuangkan ini, tutunya.

 

Dalam pertemuan ini, Komnas perempuan mengajukan rekomendasi atas kebijakan affirmative action— tindakan memberi kesempatan bagi perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama—dalam suara terbanyak, termasuk teknis tata cara pemilihan.

 

Rekomendasi teknis tersebut berupa, (i) penghitungan suara yang terpisah antara calon laki-laki dan perempuan; (ii) proporsional dengan mekanisme 2:1 atau 3:1; dan (iii) format afirmatif penetapan calon terpilih adalah selang-seling berdasarkan jenis kelamin.

 

Komnas perempuan berharap KPU mempertimbangkan rekomendasi yang mereka ajukan. Rekomendasi ini untuk menanggapi putusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu Legislatif tidak bertentangan dengan konstitusi. Pasal itu berbunyi 'Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon'.

 

MK menyatakan bahwa perlakuan khusus tersebut diperbolehkan karena mengacu pada Pasal 28H ayat 2 UUD 1945. Pasal itu berbunyi Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

 

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Akil Mochtar, pernah mengkritik gagasan KPU ini. Menurut Akil, keinginan KPU untuk menetapkan caleg perempuan dalam tiga caleg terpilih tidak sejalan dengan putusan MK. Akil menambahkkan, jabatan legislatif adalah jabatan yang dipilih oleh rakyat, bukan ditentukan oleh lembaga tertentu.

 

Sementara itu, Meutia Hatta berpendapat, rencana KPU ini sejalan dengan misi dari kementeriannya, yaitu membuat perempuan mencapai keadilan dan kesetaraan gender, serta perempuan ditingkatkan partisipasinya dalam politik dan pengambilan keputusan. Kalau perempuan tidak cukup tempat di legislatif, maka tidak ada cukup perempuan di legislatif untuk mengawasi masalah perempuan, katanya.

 

Meutia menyangkal kalau dikatakan kaum perempuan tidak siap bersaing secara bebas. Menurutnya, kultur dunia politik belakangan ini lebih mengutamakan kaum pria. Jadi untuk mendobrak hal ini perlu adanya tindakan nyata yang harus dilakukan oleh kaum perempuan, ujarnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memerlukan sebuah payung hukum untuk meyikapi persoalan keterwakilan kaum perempuan didalam parlemen. Masalah ini terkait dengan penggunaan sistem suara terbanyak yang dikhawatirkan bisa menghilangkan wakil kaum hawa di parlemen.

 

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua KPU Hafiz Anshary dalam temu wicara dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono dan Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) perempuan di kantor KPU, Jakarta, Senin (19/01).

 

Payung hukum ini guna memberikan kekuatan hukum kepada KPU apabila keputusannya digugat. Hafiz menegaskan KPU bukan sebagai pembuat Undang-Undang (UU), melainkan hanya pelaksana UU. KPU hanya boleh mengatur apa yang diatur dalam UU.

 

KPU mengusulkan payung hukum tersebut berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Nantinya berisi bahwa setiap tiga orang calon terpilih, sekurang-kurangnya ada satu keterwakilan perempuan. Perppu ini, kata Hafiz, juga menjadi dasar KPU dalam mengeluarkan peraturan tentang daftar calon terpilih.

Tags: