PN Jaksel Gelar Sidang Perdana Kasus Proyek PLTU Sampit
Berita

PN Jaksel Gelar Sidang Perdana Kasus Proyek PLTU Sampit

Karena menyalahgunakan fasilitas kredit Bank Mandiri yang semula untuk pembangunan PLTU Sampit, dua pemegang saham PT Karya Putra Powerin didakwa korupsi.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
PN Jaksel Gelar Sidang Perdana Kasus Proyek PLTU Sampit
Hukumonline

Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan PLTU Sampit, Kalimantan Tengah (Kalteng) akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Duduk di kursi terdakwa adalah Presiden Direktur Brahmantyo Irawan Kuhandoko dan Direktur PT Mosesa International (MI) Achmad Fachrie.

 

Dalam surat dakwaan, penuntut umum menjelaskan PN Jaksel dipilih sebagai pengadilan yang memeriksa perkara ini karena sebagian besar saksi berdomisili di wilayah Jakarta Selatan. Dalil penuntut umum sejalan dengan ketentuan Pasal 84 ayat (2) KUHAP.

 

Sementara, terkait pasal yang didakwakan, penuntut umum menjerat Brahmantyo dan Achmad dengan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, kedua terdakwa juga dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Kedua terdakwa dianggap penuntut umum telah bersama-sama melakukan penyalahgunaan fasilitas kredit yang diberikan PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri). Dimana seharusnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan PLTU 2x7 MW (mega watt) di Sampit, Kalteng, sebagai realisasi perjanjian PT Karya Putra Powerin (KPP) dengan PT PLN wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah (Kaselteng).

 

Namun, alih-alih membiayai pembangunan PLTU 2x7 MW, kedua terdakwa malah menggunakan kucuran kredit tersebut untuk membiayai keperluan pribadi, serta perusahaan (MI) dan anak-anak perusahaan mereka.

  

Berawal dari pembentukan KPP yang kepengurusan dan sahamnya dimiliki oleh Brahmantyo dan Achmad. Pada 15 Januari 2004, KPP yang diwakili Agus Wijayanto Legowo (Direktur Utama KPP) menandatangani perjanjian dengan PT PLN wilayah Kalselteng. Perjanjian itu dibuat dalam rangka jual beli tenaga listrik sehubungan pembangunan PLTU 2x7 MW (mega watt) di Sampit, Kalteng.

 

Untuk membiayai pembangunan PLTU tersebut, lalu KPP mengajukan fasilitas kredit kepada Mandiri. Namun, karena kedua terdakwa ada dalam jajaran kepengurusan dan kepemilikan saham KPP, permohonan kredit dikhawatirkan akan ditolak. Pasalnya, kedua terdakwa selaku pengurus dan pemegang saham dua anak perusahaan MI, PT Mosesa Multi Servindo (MMS) dan PT Prakarsa Betung Meruo Senami (PBMS), sebelumnya penah mengajukan dan menerima fasilitas kredit dari Mandiri. Dan,ternyata belum dilunasi.

 

Selanjutnya, kedua terdakwa mengubah susunan kepengurusan dan kepemilikian saham KPP dengan menunjuk dua orang baru. Tujuannya, agar KPP dapat mengajukan fasilitas kredit kepada Mandiri. Dengan Akta baru bernomor 12 tanggal 26 Maret 2004, Hesti Andi Tjahyanto alias Ica Sulaiman dan Alfitra Ginting diposisikan masing-masing sebagai Komisaris Utama dan Direktur KPP. Padahal, dalam Akta sebelumnya, Brahmantyo menjabat sebagai Komisaris Utama dan Achmad sebagai Direktur KPP.

 

Penerima kuasa saham

Walau kepengurusan dan kepemilikan saham sudah berganti, ternyata kedua terdakwa tetap aktif dalam menjalankan roda perusahaan. Hal ini dikarenakan, kedudukan kedua terdakwa masih tetap sebagai penerima kuasa saham mayoritas berdasarkan Akta nomor 6 tanggal 22 April 2004. Saham mayoritas ini menurut Akta nomor 12 tanggal 26 Maret 2004 adalah Hesti, dengan 491500 lembar saham senilai Rp49,25 miliar.

 

Dalam akta bernomor 6 tanggal 22 April 2004 itu, Hesti menguasakan kembali 250665 lembar sahamnya kepada Brahmantyo dan 238132 lembar sahamnya kepada Achmad, berikut seluruh hak-hak yang dimiliki sebagai pemegang saham. Dengan demikian, kedua terdakwa kemudian mengajukan permohonan fasilitas kredit melalui pengurus KPP (Agus dan Hesti) dengan surat nomor 0604/KPP-BNI/IV/04 tanggal 6 Mei 2004.

 

Surat tersebut ditujukan kepada Mandiri Commercial Banking Center, Thamrin, Jakarta dengan permohonan total kredit sebesar Rp69,471 miliar dan AS$6,48 juta. Namun, yang disetujui hanya Rp64,85 miliar dan AS$6,24 juta. Untuk pencairan kredit, dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, disetujui sebanyak Rp35.432.002.925, kemudian Rp4.793.228.433,62 dan terakhir Rp3.718.158.575,22.

 

Pencairan itu disetujui Mandiri atas dasar bukti-bukti dokumen yang diajukan KPP. Tapi, setelah ditelusuri, ternyata dokumen-dokumen yang diserahkan KPP berupa rekening koran dan laporan keuangan adalah fiktif, seakan-akan KPP mempunyai dana sendiri dan telah mengeluarkannya untuk keperluan pembangunan PLTU.

 

Hal ini terjadi karena sebelumnya pihak Mandiri, Dian Siswanto (Relationship Manager) dan Rudy Wibisono (Commercial Banking Center Manager) tidak melakukan verifikasi sesuai Buku Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri bulan Pebruari 2000.

 

Karena perbuatan kedua terdakwa bersama-sama dengan Hesti, Agus, Dian, dan Rudy, negara, sebagaimana laporan hasil perhitungan BPKP nomor : SR-416/D6/02/2009 tanggal 2 April 2009, merugi sekitar Rp49,59 miliar.

 

Atas dakwaan penuntut umum, kuasa hukum kedua terdakwa, Farida Sulistiani tidak banyak berkomentar. Yang pasti pihaknya akan mengajukan eksepsi untuk membantah dalil-dalil penuntut umum yang menyatakan kedua terdakwa sebagai penerima kredit. Nanti saja ya. Tapi, salah satunya, mengapa kita mengajukan eksepsi adalah karena posisi kita di sini (dibuat) seakan-akan adalah penerima kredit, katanya.

Tags: