Mahkamah Konstitusi dan Dunia Usaha
Arief T. Surowidjojo

Mahkamah Konstitusi dan Dunia Usaha

Konstitusi, filosofi dasar bernegara, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), kepentingan publik dan proyeksi Program Pembangunan Nasional (Propenas), semula merupakan hal-hal yang tidak dibayangkan pentingnya dan bahkan, tidak diperdulikan oleh mayoritas dunia usaha di Indonesia. Dunia usaha seakan merupakan suatu dunia terpisah, terisolasi dan tidak tersentuh oleh Konstitusi, kehidupan bernegara dan kepentingan publik.

Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi dan Dunia Usaha
Hukumonline

Kenyataannya, tidak pernah ada upaya sungguh-sungguh untuk menyelaraskan ketentuan undang-undang dengan filosofi Konstitusi tersebut. Kalaupun ada pihak atau masyarakat yang merasa dirugikan, tidak ada suatu mekanisme atau prosedur hukum untuk meninjau ulang kebijakan dalam undang-undang tersebut. Lebih gawat lagi, begitu banyak kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi ditetapkan melalui Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan badan-badan atau lembaga-lembaga Negara, bahkan lebih rendah lagi seperti keputusan-keputusan di tingkat Dirjen.

Begitu kuatnya penguasa pada era Orde Baru, dan begitu lemahnya parlemen dan badan peradilan pada waktu itu, sehingga tidak cukup keberanian dan kepercayaan dari masyarakat untuk menggugat keberadaan kebijakan publik yang dikeluarkan di bawah tingkat undang-undang yang dianggap melanggar Konstitusi dan kepentingan publik.

Kebijakan Ekonomi Pasca Orde Baru

Ketiga Presiden terakhir Republik Indonesia dipaksa oleh kondisi krisis ekonomi dan moneter untuk melakukan reformasi politik, ekonomi, struktur pemerintahan (termasuk kepegawaian), dan hukum secara drastis dan dalam waktu bersamaan. Suatu problem yang luar biasa tingkat kesulitannya bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini yang mengalami krisis hanya di bidang moneter atau ekonomi saja.

Kebijakan ekonomi Indonesia ditetapkan tidak sendirian, melainkan bersama-sama dengan International Monetary Fund (IMF) dan negara-negara donor dan pemberi utang, Negara maupun swasta. Penekanan utamanya pada  penstabilan nilai Rupiah terhadap mata uang asing, terutama untuk mengurangi biaya impor barang dan nilai utang (Negara maupun swasta) dalam mata uang asing, Kemudian diikuti dengan penataan anggaran belanja Negara yang berimbang, pengurangan hutang Negara dan swasta, serta penyehatan perbankan.

Penekanan selanjutnya adalah,  percepatan program privatisasi,  penyelesaian hutang swasta dengan debitur kakap, penjualan aset Negara ex-BLBI dengan recovery rate yang masuk akal, dan pemberian stimulus untuk peningkatan ekspor. Terakhir, yang tak kalah penting adalah, pemberian kesempatan kerja kepada angkatan kerja yang mengalami tingkat pengangguran yang tinggi

Dalam penetapan program-program ekonomi tersebut, nampak adanya ketergesaan untuk cepat keluar dari krisis ekonomi dan adanya upaya untuk memuaskan kepentingan kreditur (asing). Gejala yang sangat menarik, ketika di dalam merumuskan kebijakan pokok dan detail dari program-program tersebut, Pemerintah mengajak serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seolah-olah, dibutuhkan suatu dukungan publik dengan memberi kesan bahwa program-program tersebut tidak melanggar Konstitusi, dan juga disetujui oleh rakyat lewat sistim perwakilan.

Contoh nyatanya adalah program privatisasi. Ketika Pemerintah bermaksud untuk menjual saham-saham Negara dalam BUMN, Pemerintah selalu meminta persetujuan atau paling tidak berkonsultasi aktif dengan DPR. Manakala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) akan melakukan proses divestasi atau penyelesaian dengan debitur kakap, atau melakukan rekapitalisasi bank, BPPN kerap harus menganggap dirinya wajib meminta persetujuan atau berkonsultasi dengan DPR. Ini menimbulkan red tapes baru, keterlambatan yang tidak perlu dalam situasi krisis dan dugaan dan pergunjingan timbulnya jenis korupsi baru di lingkungan parlemen.

Program-program penyehatan bank yang mengorbankan begitu besar jumlah Bantuan Likwidasi Bank Indonesia (BLBI) yang harus dikucurkan Bank Indonesia untuk menolong agar bank-bank (yang dijalankan secara tidak pruden dan dimanfaatkan secara melanggar hukum (BMPK) oleh para pemilik dan manajemennya) tidak bangkrut, sangat mempengaruhi perekonomian Negara, yang akan terakumulasi dalam neraca keuangan Negara sampai beberapa tahun mendatang.

Timbul pertanyaan apakah tindakan Pemerintah tersebut tidak melanggar Konstitusi, dan kalau memang demikian, upaya apa yang dapat dilakukan oleh rakyat untuk mencegahnya?

Tindakan Pemerintah tersebut dilandasi oleh UU Perbankan nomor 7 Tahun 1992 dan perubahannya, Undang-undang nomor 10 tahun 1998, namun tidak ada upaya hukum yang dilakukan untuk melakukan misalnya judicial review atas Undang-undang tersebut. Utamanya tentu, karena mekanismenya pada waktu itu belum ada (tercatat adanya usaha judicial review atas Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 1999 mengenai BPPN dan perubahan-perubahannya, tetapi landasan judicial review diduga lebih mengarah kepada melindungi para konglomerat pemilik bank, dan bukan untuk melindungi kepentingan publik).

Penyelesaian tagihan Negara terhadap para konglomerat pemilik bank yang diambil alih atau direkapitalisasi atau dibubarkan juga menyisakan pertanyaan konstitusional. Apakah BPPN sebagai badan bentukan Negara mempunyai kewenangan untuk memberikan release and discharge, semacam bentuk amnesti, kepada para konglomerat yang dianggap telah menyelesaikan kewajiban-kewajibannya terhadap BPPN, yang notabene hanya melakukan pembayaran rata-rata kurang dari 30% dari utang-utangnya kepada Negara ?

Semua masalah yang terkait dengan dunia usaha tersebut mungkin tidak akan terjadi atau akan bisa direduksi seandainya ada suatu Mahkamah Konstitusi yang bisa memberikan suatu penilaian dan keputusan final, apakah hal-hal tersebut merupakan pelanggaran Konstitusi atau tidak. Sehingga, di satu pihak masyarakat diperlakukan dengan adil, terjadi transparansi atas kebijakan publik. Di lain pihak, Pemerintah dapat bekerja maksimal untuk menyelesaikan krisis ekonomi berkepanjangan tanpa ragu dan dengan tindakan yang tegas, tanpa khawatir pejabat-pejabatnya akan dipersalahkan dan diadili kelak.

Mahkamah Konstitusi dan Dunia Usaha

Atas delegasi wewenang Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945, legislatif telah mengundangkan Undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah dibentuk dan Ketua dan Hakim-hakim Konstitusi juga telah dipilih melalui proses pemilihan yang diatur dalam UUMK, sementara Komisi Yudisial yang seharusnya berfungsi untuk pemilihan hakim-hakim, belum terbentuk.

Dalam UUD 1945 (UUD) dan UUMK, ditentukan 5 kewenangan utama dari Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu : (1) Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, (2) Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (yang kewenangannya diberikan oleh UUD), (3) Memutus Pembubaran Partai Politik, (4) memutus perselisihan hasil Pemilihan Umum, dan (5) memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD.

Nampaknya, tidak terpikir oleh pembuat UUMK untuk menempatkan masalah-masalah mendasar ekonomi dan dunia usaha ke dalam obyek wewenang dari MK, kecuali mungkin yang menyangkut wewenang pertama di atas. Yaitu, pengujian terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD, dan mungkin ada sedikit kaitannya dengan wewenang kedua di atas, yaitu menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang dibentuk oleh UUD, sepanjang yang menyangkut kewenangan yang berkaitan dengan bidang ekonomi atau dunia usaha.

Dalam kaitannya dengan dunia usaha, maka sedikitnya ada beberapa hal penting yang perlu dicermati dari ketentuan-ketentuan UUMK .Pertama, UUMK hanya memberikan wewenang kepada MK untuk melakukan pengujian atas undang-undang yang diundangkan setelah dilakukannya perubahan pertama UUD (19 Oktober 1999). Sehingga MK tidak dapat menjangkau kebijakan publik yang tercantum dalam undang-undang yang diberlakukan masa pemerintahan Orde Baru atau bahkan di saat masih carut marutnya reformasi. Padahal, justru di periode tersebutlah mungkin terjadi banyak pengeluaran kebijakan publik yang bertentangan dengan kepentingan publik;

Kedua, UUMK hanya memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji Undang-undang, tidak peraturan perundangan di bawah Undang-undang.  Sehingga, mungkin sekali terjadi ketidak konsistenan antara hasil pengujian MK terhadap Undang-undang, dan hasil pengujian MA terhadap produk di bawah undang-undang. Lagi pula, begitu banyak produk di bawah undang-undang, termasuk peraturan pemerintah, Keppres, peraturan atau keputusan Menteri, keputusan direktur jenderal, keputusan badan-badan dan lembaga-lembaga Negara, yang diduga melanggar prinsip-prinsip UUD.

Ketiga, UUMK memberikan senjata yang sangat berguna kepada MK untuk menerapkan pembuktian bebas, dan dengan mengakui alat-alat bukti baru sesuai dengan perkembangan teknologi. Ini merupakan suatu lompatan maju yang seharusnya juga diadopsi oleh badan peradilan umum, terutama dalam kaitannya dengan penyelesaian kasus-kasus besar dalam rangka mempercepat penyelesaian krisis ekonomi dan perkara-perkara korupsi.

Keempat, ketentuan UUMK yang memberi wewenang kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD dapat menimbulkan ketidakpastian iklim usaha karena dunia usaha sangat sensitif terhadap kepastian hukum. Ketidakpekaan MK atas hal tersebut dapat mengganggu minat dan tingkat investasi di Indonesia. Seandainya suatu ketentuan dalam suatu undang-undang dicabut atas dasar pengujian MK, maka bisa terjadi ke-vacuum-an dalam hukum, baik atas kondisi pada saat ketentuan tersebut dicabut, maupun akibat yang ditimbulkan dari transaksi yang dibuat berdasarkan ketentuan yang dicabut;

Kelima, UUMK tidak jelas mengatur lembaga Negara mana yang dimaksud dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang diberi wewenang oleh UUD. Karena, ada beberapa lembaga Negara yang diatur dan tidak diatur kewenangannya oleh UUD yang mempunyai potensi berbenturan, misalnya antara lembaga-lembaga sebagai berikut: Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan, DPR atau DPD yang masing-masing mempunyai kewenangan tertentu di bidang ekonomi;

Terakhir, beberapa hal yang bisa menimbulkan gejolak politik, yang langsung atau tidak langsung berpengaruh juga untuk iklim investasi dan berusaha, yaitu bilamana suatu partai politik dibubarkan atas dasar keputusan MK, sehingga terjadi gejolak di DPR yang mungkin harus di restrukturisasi karena sejumlah anggotanya harus ditarik kembali karena Parpol-nya dibubarkan; dan tidak jelas mekanismenya di sini bagaimana penggantiannya dilakukan. Apakah Pemilu perlu diulang, ataukah peserta Pemilu yang lalu menggantikannya berdasarkan urutan prioritas perolehan suara. Masalah impeachment juga bisa mengundang serba ketidakpastian yang berpengaruh terhadap lingkungan bisnis.

Bagi MK, tugas yang berat menanti dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi yang bisa terganggu karena adanya undang-undang yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam UUD. Untuk bisa bekerja dengan baik, MK memerlukan parameter yang jelas untuk mengukur di mana pertentangan atau ketidaksesuaian suatu Undang-Undang dengan prinsip-prinsip UUD. Bagi pemohon judicial review, juga perlu diberikan parameter yang jelas, sehingga prosesnya tidak dimanfaatkan sebagai senjata untuk melakukan perang bisnis di antara pelaku bisnis dengan menghambat suatu kegiatan usaha yang bersaing.

Ada beberapa pasal penting dalam UUD yang bisa dijadikan pegangan, meskipun rincian dan penjelasannya masih memerlukan penajaman oleh MK. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 33 UUD. Kemudian, yang terkait dengan azas governance, pasal 28H menyatakan bahwa:"Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus, untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan", dan "setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun."

Pasal-pasal tersebut kiranya bisa diuraikan lebih lanjut bahwa kegiatan ekonomi yang memenuhi UUD adalah kegiatan-kegiatan sebagai berikut. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Ini harus diartikan bahwa Pemerintah selalu memperhatikan perkembangan kegiatan usaha melalui koperasi, usaha kecil dan menengah

Kedua, Kegiatan produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Artinya, Negara mempunyai kendali penuh atas kegiatan produksi tersebut sehingga kepentingan Negara dan hajat hidup orang banyak akan tetap terjaga. Dalam konteks privatisasi ini bisa diartikan bahwa Negara tidak wajib memiliki kegiatan produksi tadi, tetapi pengendalian atas kegiatan tersebut tetap berada di tangan Negara;

Ketiga, sumber kekayaan alam, yaitu bumi, air dan kekayaan alam, juga tetap dikuasai Negara, dalam arti bahwa pengelolaan dan pemanfaatannya tetap dalam kendali penuh Negara.

Keempat, kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi, sehingga setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama dalam berusaha. Kegiatan ekonomi dilakukan dengan dasar prinsip kebersamaan. Sekali lagi, ini bisa diartikan bahwa arah kebijakan ekonomi merujuk kepada usaha bersama dengan mengembangkan usaha-usaha dalam bentuk koperasi, dan pemberian proteksi kepada pengusaha kecil dan menengah.

Kelima, kegiatan ekonomi dilakukan secara berkelanjutan, sehingga harus dihindari kegiatan ekonomi yang sifatnya "hit and run" atau berdasarkan kebijakan ad hoc. Kegiatan ekonomi juga harus dilakukan dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan dan dengan memperhatikan prinsip kemandirian,

Selanjutnya, kegiatan ekonomi juga dilakukan dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional dan kesatuannya, jadi di satu pihak adalah ideal bila dapat dibentuk semacam "Indonesia Incorporated", dan di saat yang sama kesatuan demikian sebaiknya tidak menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Menerjemahkan lebih lanjut parameter tersebut bukan pekerjaan yang mudah bagi MK. Parameter tersebut memang ideal, dan mudah dilaksanakan dalam kondisi perekonomian yang normal, infrastruktur yang baik, utang luar negeri dan dalam negeri yang wajar, devisa yang cukup, ekspor yang tumbuh baik, pertumbuhan ekonomi yang baik, jumlah penduduk yang terkontrol, indikator makro ekonomi yang baik, tersedianya lapangan kerja yang cukup, dan sebagainya.

Kondisi kita pada saat ini, di mana MK mulai bekerja, sangat tidak ideal. Menguji suatu kegiatan dalam kondisi yang tidak ideal dengan parameter yang ideal tentu sangat tidak produktif.

Lebih lagi, parameter ideal tersebut bukan tidak mungkin detrimental dengan prinsip-prinsip ekonomi yang lebih bebas sebagaimana dianut oleh AFTA dan WTO Agreements di mana Indonesia menjadi pihak di dalamnya, sehingga sebagai anggota Indonesia wajib untuk menyelaraskan ketentuan peraturan perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip AFTA, WTO Agreements dan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral di mana Indonesia menjadi pihak di dalamnya.

Ketentuan yang sifatnya protektif dalam UUD dan Undang-undang yang berlaku menjadi sangat tidak popular, dan menjadikan Indonesia kehilangan competitive advantages-nya sebagai tempat investasi dan berusaha.

Pada akhirnya, hakim-hakim MK diharapkan mempunyai pemahaman yang luas tentang ekonomi dan kegiatan usaha, sehingga di dalam menjalankan wewenangnya menguji undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi dan dunia usaha, dalam konteks dunia yang berubah cepat ini, hakim-hakim MK dapat menerapkan parameter ideal tersebut secara bijaksana dan tepat untuk kondisi pada waktu di mana kegiatan tersebut dilakukan.

Dunia usaha lebih lekat dengan penguasa, pemilik modal, jaringan bisnis dan keuangan internasional, serta konsumen. Dunia usaha mencari celah dari ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dunia usaha mendapatkan proyek-proyek pemerintah dengan proses tender yang menggunakan cara-cara koruptif, nepotisme dan kolutif, jauh dari prinsip-prinsip good governance dan good corporate governance yang mengutamakan prinsip-prinsip transparansi, pemberian perlakukan dan kesempatan yang seimbang, dan akuntabilitas yang tinggi.

Dunia usaha mempengaruhi pengeluaran peraturan dan kebijakan Pemerintah yang menguntungkan mereka, dan biasanya bersifat ad hoc, protektif, dan monopolistis, dan dengan itu secara curang menyingkirkan saingan-saingan mereka. Dalam hal usahanya tersandung kasus pengadilan, dunia usaha berkolaborasi dengan menggunakan tangan-tangan penguasa dan pengacara yang tidak bersih, untuk mempengaruhi hakim. Ini menciptakan sistim peradilan yang sangat bisa diatur dan korup.

Konstitusi (UUD 1945) sebelum diubah, secara garis besar menggariskan bahwa cabang produksi yang penting bagi Negara dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Demikian juga, bumi, air dan kekayaan alam tetap harus dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat. Inilah garis besar kebijakan ekonomi Indonesia yang kemudian diterjemahkan lebih detail ke dalam GBHN, kebijakan Pemerintah di bidang pembangunan ekonomi yang digodok oleh think-tank Pemerintah seperti BAPPENAS, dan menjadi dasar bagi pengeluaran undang-undang yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Tags: