Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 7 Februari 2014 dan pertama kali dimutakhirkan pada Kamis, 16 Juli 2020.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Foto Orang Menurut UU ITE
Foto teman Anda yang diambil melalui kamera ponsel dapat dikatakan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik apabila masih berbentuk elektronik atau dengan kata lain jika belum dicetak.
Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 menjelaskan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sedangkan yang dimaksud dokumen elektronik menurut Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Foto Orang Menurut UU Hak Cipta
Kemudian, jika dilihat dari segi UU Hak Cipta, foto teman Anda dikategorikan sebagai potret, yaitu karya fotografi dengan objek manusia.[1]
berita Terkait:
Orang yang mengambil gambar/memfoto teman Anda saat bekerja dapat disebut sebagai pencipta, yaitu seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.[2] Sebagai pencipta, si pengambil foto memiliki hak cipta yang memberi sejumlah hak eksklusif di antaranya untuk melaksanakan perbanyakan, pengumuman termasuk perubahan atas gambarnya sendiri dan melarang orang lain melaksanakan tindakan tersebut tanpa seizinnya.
Namun, terdapat pembatasan atas penggunaan hak cipta atas suatu potret. Artinya, orang yang mengambil potret harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari orang yang dipotret, sebab Pasal 12 ayat (1) UU Hak Cipta telah mengatur setiap orang dilarang melakukan penggunaan secara komersial, penggandaan, pengumuman, pendistribusian, dan/atau komunikasi atas potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya. Bila dilanggar, pelaku dapat dijerat pidana denda paling banyak Rp500 juta.[3]
Akan tetapi berdasarkan kronologis yang diceritakan, kami asumsikan bahwa potret yang diambil bukan untuk kepentingan reklame atau periklanan secara komersial, melainkan untuk dilaporkan ke atasan “seolah-seolah” sedang tidur saat jam kerja, sehingga tidak termasuk perbuatan di atas.
Foto untuk Kepentingan Pembuktian
Dalam hukum pidana, foto yang telah dicetak sah sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE jo. Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016.
Dari sini bisa diketahui bahwa untuk kepentingan pembuktian tindak pidana, foto sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang telah dicetak merupakan alat bukti hukum yang diakui secara sah.
Apabila gambar/potret teman Anda yang telah dicetak itu digunakan untuk kepentingan pembuktian pada hukum pidana, maka foto tersebut adalah sah diakui secara hukum. Lalu bagaimana jika foto itu digunakan tidak untuk kepentingan pembuktian pada hukum pidana?
Tindak Pidana Penghinaan
Dari cerita yang Anda sampaikan, kami berasumsi bahwa maksud dari dijadikannya foto teman Anda yang telah dicetak sebagai bukti adalah untuk kepentingan pembuktian kepada atasan atas sikap pekerja yang “seolah-seolah” sedang tidur saat jam kerja. Artinya, foto yang telah dicetak tidak digunakan untuk kepentingan pembuktian tindak pidana.
Di luar untuk kepentingan hukum pidana, hal ini berarti foto teman Anda dapat saja dijadikan sebagai bukti untuk menyatakan kebenaran bahwa teman Anda “tidur” di kantor saat jam kerja dan menunjukkannya kepada atasan. Tapi ada yang perlu dicermati di sini, yaitu kebenaran bahwa teman Anda memang tidur atau tidak saat jam kerja.
Apabila ternyata teman Anda memang benar bekerja dan tidak sedang dalam keadaan tidur, maka si pengambil foto atau pelaku yang memberikan hasil cetak foto teman kepada atasan dapat dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[4] yakni pada tahun 2026 berikut.
Pasal 310 KUHP | Pasal 433 UU 1/2023 |
|
|
Menjawab pertanyaan Anda, jika perbuatan memberikan hasil cetak foto teman Anda yang dituduh sedang tidur padahal sedang bekerja dengan maksud untuk diketahui oleh orang banyak dan perbuatan tersebut adalah perbuatan yang memalukan, pelaku dapat dipidana dengan Pasal 310 ayat (2) KUHP atau Pasal 433 UU 1/2023 ini.
Sehingga, perbuatan tersebut tidak bisa dikenakan ancaman pidana dalam UU ITE karena tidak dilakukan dengan jalan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Foto yang telah dicetak tersebut tidak lagi dalam bentuk informasi dan/atau dokumen elektronik.
Baca juga: Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.
[1] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”)
[2] Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta
[3] Pasal 115 UU Hak Cipta
[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)
[5] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”)
[6] Pasal 3 Perma 2/2012
[7] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[8] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023