Pasca Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres/cawapres, menuai pro kontra di kalangan masyarakat. Bahkan beberapa hakim MK dilaporkan karena dianggap melanggar kode etik. Pertanyaan saya, jika hakim MK terbukti melanggar kode etik, apakah putusannya menjadi tidak mengikat atau batal?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah cabang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Putusan MK pada prinsipnya bersifat final dan mengikat (final and binding), berlaku erga omnes, dan berkekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Namun, jika dalam prosesnya, ternyata hakim yang mengadili perkara melakukan tindak pidana atau pelanggaran kode etik, apakah putusan MK tetap dianggap sah?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Mahkamah Konstitusi (“MK”) merupakan salah satu cabang kekuasaan yudikatif yang mempunyai wewenang sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sifat putusan MK adalah final. Yang dimaksud dengan putusan MK bersifat final adalah putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[1]
Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apa pun. Jika bersifat final, harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum.[2]
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut dapat dikatakan bahwa terhadap putusan itu tidak bisa dilakukan upaya hukum, seperti kasasi atau peninjauan kembali. Putusan tersebut wajib dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya, maupun masyarakat pada umumnya yang terkait dengan putusan itu.[3]
Lantas, kapan putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap? Pasal 77 Peraturan MK 2/2021 mengatur bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Selain itu, putusan MK juga memiliki sifat erga omnes yaitu putusan MK berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Sehingga, ketika suatu undang-undang dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan undang-undang dasar, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang.[4]Erga omnes juga dapat diartikan bahwa putusan MK berlaku bagi seluruh elemen negara tanpa kecuali.[5]
Karena sifat erga omnes ini, putusan MK memiliki kedudukan sebagaimana hukum yang diciptakan oleh para pembentuk undang-undang lainnya (DPR dan presiden).[6] Atau dengan kata lain, putusan MK memiliki kedudukan layaknya undang-undang.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim konstitusi, para hakim MK wajib mematuhi kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Hal ini termaktub di dalam Pasal 27B huruf a angka 4 UU 8/2011.
Dalam Peraturan MK 9/2006diatur lebih lanjut mengenai kode etik dan perilaku hakim konstitusi (Sapta Karsa Hutama) yang terdiri atas prinsip independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, kecakapan dan keseksamaan, serta kearifan dan kebijaksanaan.
Adapun, risiko hukum jika hakim konstitusi terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim adalah diberhentikan tidak dengan hormat.[7]
Apakah Pelanggaran Kode Etik Hakim Menyebabkan Putusan MK Tidak Sah?
Lantas, apakah pelanggaran kode etik membuat putusan MK menjadi tidak sah atau atau dapat dianulir?
Pertama, jika ditinjau dari UU MKbeserta perubahannya dan peraturan pelaksananya, sepanjang penelusuran kami, pelanggaran kode etik ataupun tindak pidana, berdampak pada diri hakim yang bersangkutan, yaitu diberhentikan tidak dengan hormat.[8]
Kedua, tidak ada ketentuan mengenai upaya hukum seperti permohonan pembatalan atas putusan MK, sebab putusan MK yang bersifat final yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, termaktub di dalam konstitusi. Kemudian, secara konsisten diatur di dalam UU MK dan perubahannya serta peraturan pelaksananya.
Akibat dari sifat final putusan MK tersebut, sebagaimana disebutkan Sri Soemantri, adalah harus mengikat dalam arti sah memiliki kepastian hukum, dan tidak bisa dianulir oleh lembaga manapun.
Ketiga, dalam putusan MK berlaku asas res judicata. Menurut Soedikno Mertokusumo, asas res judicata pro veritate habeturbermakna apa yang diputus hakim harus dianggap benar.[9]
Berlakunya asas res judicata dalam putusan MK dapat terlihat dalam pertimbangan hakim dalam Putusan MK No. 105/PUU-XIV/2016. Menurut MK, putusan hakim merupakan akhir dalam proses persidangan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pencari keadilan. Sehingga, putusan harus dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak. Mengabaikan putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan pengingkaran terhadap bangunan negara hukum (hal. 50).
Lebih lanjut, meskipun tidak terdapat ketentuan yang secara tegas menyatakan bahwa putusan MK wajib dilaksanakan, namun, secara teoritis dan praktis, dengan adanya pernyataan final and binding suatu putusan hakim memiliki pesan dan sekaligus makna bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan (hal. 52).
Meski demikian, karena sifat putusan MK dalam pengujian undang-undang adalah declaratoir-constitutief yaitu mendeklarasikan suatu norma tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sekaligus meniadakan suatu keadaan hukum atau membentuk keadaan hukum baru, maka putusan MK tidak membutuhkan aparat yang memaksa agar putusan tersebut dilaksanakan atau dipatuhi. Sehingga, perlu kesadaran dan kepatuhan hukum semua pihak untuk melaksanakan putusan MK sebagai cerminan penghormatan prinsip negara hukum (hal. 52).
Terkait dengan asas res judicata pro veritate habetur ini menurut Soedikno, putusan hakim harus tetap dianggap benar meskipun diajukan saksi palsu dan hakim memutuskan berdasarkan saksi palsu tersebut. Hal ini demi terwujudnya ketertiban masyarakat dan kepastian hukum.[10]
Lebih lanjut, putusan pengadilan yang menetapkan, menghapuskan, atau mengubah hukum merupakan sumber hukum materiil, meskipun terjadi kesalahan dalam putusan. Begitu pula, putusan MK juga memiliki akibat res judicata, meskipun terjadi kesalahan.[11]
Dengan demikian, meskipun terjadi judicial corruption, tindak pidana atau pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim, tidak menjadikan putusan MK tidak sah atau salah. Putusan MK tetap dianggap benar dan sah, karena berkaitan dengan asas res judicata dan sifat putusan MK yang final and binding.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Antoni Putra. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Yudisial, Vol. 14, No. 3, Desember 2021;
Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Mimbar Hukum, Vol. 19, No. 3, Oktober 2007;
M. Agus Maulidi. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 2, Juni 2019;
Majalah Konstitusi Nomor 63 – April 2012;
Ni’matul Huda. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2018;
Soedikno Mertokusumo. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010.
[2] Ni’matul Huda. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2018, hal. 141
[3] Ni’matul Huda. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2018, hal. 142
[4] Antoni Putra. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Yudisial, Vol. 14, No. 3, Desember 2021, hal. 298
[5] M. Agus Maulidi. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 2, Juni 2019, hal. 353
[6] Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Mimbar Hukum, Vol. 19, No. 3, Oktober 2007, hal. 441