Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran ketiga dari artikel dengan judul Dipaksa Menikah Padahal Tidak Cinta yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. yang pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 5 Juli 2013, kemudian pertama kali dimutakhirkan oleh Sigar Aji Poerana, S.H. pada Selasa, 25 Agustus 2020, dan kedua kali dimutakhirkan pada Selasa, 26 Juli 2022.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Hukum Menikah karena Terpaksa
Karena Anda tidak menerangkan agama Anda dan wanita tersebut, sehingga untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kami akan merujuk pada UU Perkawinan dan perubahannya.
Menikah karena terpaksa atau kisah menikah karena dijodohkan kerap dijadikan alur cerita dalam sebuah film maupun sinetron. Nyatanya, kisah menikah karena terpaksa memang masih kerap terjadi. Entah atas keinginan atau paksaan orang tua hingga karena ancaman seperti yang Anda alami.
Perlu kami sampaikan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam penjelasan ayat tersebut, dikatakan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia.
Ini berarti, pada dasarnya seseorang tidak boleh terpaksa menikah dengan ancaman atau dengan hal apapun. Perkawinan harus didasarkan pada keinginan dan persetujuan dari masing-masing pihak.
berita Terkait:
Dalam kasus menikah karena terpaksa di bawah ancaman yang melanggar hukum, baik suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.[1] Selanjutnya, terkait hukum Islam menikah karena terpaksa di bawah ancaman, berdasarkan Pasal 72 ayat (1) KHI dapat dilakukan pembatalan perkawinan yang dimohonkan juga oleh suami atau istri.
Baca juga: Pasal Pemerasan dan Pengancaman dalam KUHP Baru
Batas Waktu Pengajuan Pembatalan Perkawinan karena Ancaman
Peraturan perundang-undangan menerangkan bahwa hukum menikah karena terpaksa di bawah ancaman adalah tidak sah dan karenanya dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Namun, perlu Anda ketahui bahwa berkaitan dengan permohonan pembatalan perkawinan yang kami jelaskan sebelumnya, terdapat batasan waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan karena ancaman yang melanggar hukum.
Batas waktu pengajuan pembatalan adalah 6 bulan. Kemudian, jika ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 bulan dan masih tetap hidup sebagai suami istri, serta tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.[2]
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 23 UU Perkawinan, antara lain:
- para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
- suami atau istri;
- pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
- pejabat yang ditunjuk dalam Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Dengan kata lain, langkah hukum yang dapat diambil ketika menikah karena terpaksa disertai ancaman adalah pembatalan perkawinan, bukan perceraian.
Permohonan pembatalan perkawinan ini diajukan kepada Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami istri.[3]
Syarat Pembatalan Perkawinan
Dikutip dari informasi mengenai Pembatalan Nikah dari laman Pengadilan Agama Depok, syarat-syarat pembatalan perkawinan yang semua fotokopi persyaratannya harus dileges (nazegelen) di kantor pos kecuali KTP adalah:
- Fotokopi KTP pemohon;
- Fotokopi akta nikah yang mau diajukan pembatalan nikah;
- Surat permohonan pembatalan nikah (di Posbakum);
- Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
- Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
- Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
- Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
- Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan;
- Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
- Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Setelah melalui prosedur di atas dan berdasarkan hasil persidangan, pembatalan perkawinan tersebut akan dikabulkan oleh hakim. Sehubungan dengan ini, berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan, batalnya suatu perkawinan tersebut dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Penting untuk dicatat, bahwa pembatalan tersebut tidak berlaku surut terhadap:[4]
- anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
- suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
- orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Alasan, Tata Cara, dan Tahapan Pembatalan Perkawinan
Contoh Kasus Menikah karena Dipaksa
Sebagai contoh kisah menikah karena terpaksa, kami merujuk pada Putusan PA Pacitan No. 0644/Pdt.G/2017/PA.Pct.
Bahwa pemohon merasa dipaksa dan diancam untuk menikahi termohon karena termohon telah hamil dan melahirkan (hal. 9).
Bahwa sebelum menikah pemohon dan termohon terlebih dahulu pacaran dan pernah melakukan hubungan badan secara berulang-ulang atas dasar suka sama suka yang kemudian diketahui termohon hamil (hal. 11).
Namun, ternyata usia kehamilan termohon tidak sesuai sebagaimana yang dinyatakan, karena usia kehamilan yang dikatakan termohon adalah 4 atau 5 bulan, namun ternyata termohon melahirkan secara normal seminggu setelah pernyataan termohon tersebut (hal. 11).
Diketahui dari persidangan, bahwa ada anggota keluarga termohon yang sempat datang dan mengancam pemohon untuk menikahi termohon dan perkataan tersebut membuat pemohon ketakutan dan merasa terancam, sehingga terpaksa mau menikahi termohon (hal. 12).
Selain itu, pemohon juga merasa ditipu oleh termohon yang mengatakan kehamilannya baru berusia 4 atau 5 bulan akan tetapi seminggu kemudian termohon melahirkan dalam keadaan normal sesuai perhitungan hari lahir (hal. 13). Hal ini membuat pemohon merasa termohon tidak memberikan keterangan yang benar kepada pemohon sehingga dipandang patut dan wajar apabila pemohon curiga tentang kehamilan termohon dan siapa sebenarnya yang menghamilinya (hal. 13).
Selanjutnya, perintah pengadilan untuk melakukan tes DNA juga tidak diindahkan oleh termohon, sehingga hal ini mengindikasikan iktikad tidak baik termohon (hal. 14).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dalam putusannya, pengadilan menetapkan batal perkawinan pemohon dengan termohon yang dilangsungkan pada 3 Agustus 2017 di Kabupaten Pacitan (hal. 15).
Beranjak dari contoh kasus ini, kami sarankan Anda untuk mengajukan pembatalan perkawinan atas dasar perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, apabila batasan waktu yang kami jelaskan di atas belum terlampaui.
Selain itu, jika anak dalam kandungan wanita tersebut sudah lahir, dan memang ada keraguan terkait hubungan darah Anda dengan anak tersebut, silakan lakukan tes DNA. Apabila terbukti tidak ada hubungan darah, bukti tes DNA ini dapat menjadi penguat dalil pembatalan perkawinan Anda di persidangan.
Terakhir, kami sampaikan bahwa jangan menikah karena terpaksa, sebab risiko dan konsekuensi hukum menikah karena terpaksa di bawah ancaman ini adalah pembatalan perkawinan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Putusan:
Putusan Pengadilan Agama Pacitan Nomor 0644/Pdt.G/2017/PA.Pct.
Referensi:
Pembatalan Nikah, yang diakses pada 26 Mei 2023, pukul 15.00 WIB.
[1] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
[2] Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan jo. Pasal 72 ayat (3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
[3] Pasal 25 UU Perkawinan jo. Pasal 74 ayat (1) KHI
[4] Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan