Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan, Haruskah Berizin?

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan, Haruskah Berizin?

Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan, Haruskah Berizin?
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan, Haruskah Berizin?

PERTANYAAN

Apakah kegiatan keagamaan, seperti tabligh akbar, ceramah, atau pengajian, membutuhkan izin untuk dapat dilaksanakan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penyelenggaraan kegiatan keagamaan pada dasarnya tidak memerlukan pemberitahuan kepada pihak kepolisian, sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Meskipun demikian, status kepemilikan tempat penyelenggaraan kegiatan tersebut harus diperhatikan. Sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, terdapat sanksi bagi mereka yang menggunakan tanah milik orang lain tanpa izin.
     
    Penjelasan selengkapnya silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Kebebasan Beragama, Beribadah, dan Berkumpul
    Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) menerangkan bahwa:
     
    1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
    2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
     
    Setiap orang juga berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.[1] Selain itu, setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.[2]
     
    Terhadap hak dan kebebasan tersebut, Pasal 69 dan Pasal 70 UU HAM menjelaskan bahwa:
     
    Pasal 69 UU HAM
    1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
     
    Pasal 70 UU HAM
    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
     
    Berdasarkan bunyi pasal-pasal tersebut, kebebasan beragama, beribadah, berkumpul, dan berserikat serta mengembangkan diri pribadi memang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Namun pelaksanaannya tetap harus menghormati hak orang lain serta tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
     
    Izin Kegiatan Keagamaan
    Terkait izin kegiatan keagamaan, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menerangkan bahwa:
     
    1. Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
    2. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggungjawab kelompok.
    3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.
    4. Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
     
    Berdasarkan bunyi pasal tersebut, pelaksanaan kegiatan keagamaan pada dasarnya tidak memerlukan pemberitahuan kepada pihak kepolisian.
     
    Meskipun demikian, menurut hemat kami, pelaksanaan kegiatan keagamaan harus tetap memperhatikan status kepemilikan tempat pelaksanaan kegiatan. Hal tersebut dikarenakan adanya larangan pemakaian tanah milik orang lain tanpa izin, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (“Perppu 51/1960”). Pasal 2 Perppu 51/1960 menerangkan bahwa:
     
    Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.
     
    Yang dimaksud dengan “memakai tanah” adalah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.[3] Pasal 6 ayat (1) Perppu 51/1960 kemudian menyatakan bahwa:
     
    Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah );
    1. barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan,bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat (1);
    2. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
    3. barangsiapa menyuruh,mengajak,membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini;
    4. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini.
     
    Selain itu, Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu.[4]
     
    Sementara itu, di dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diatur bahwa:
     
    Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
     
    Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka penyelenggara kegiatan yang akan menggunakan tanah milik orang lain harus mendapatkan izin dari yang berhak atau yang berkuasa atas tanah tersebut. Izin tersebut dapat diperoleh salah satunya dengan membayar sewa kepada pemiliknya.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
     

    [1] Pasal 12 UU HAM.
    [2] Pasal 24 ayat (1) UU HAM.
    [3] Pasal 1 angka 3 Perppu 51/1960
    [4] Pasal 3 ayat (1) Perppu 51/1960

    Tags

    ibadah
    keagamaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!