Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana

Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana
Dian Dwi Jayanti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana

PERTANYAAN

Dalam hukum pidana, apa perbedaan sengaja dan tidak sengaja? Apakah tidak sengaja berarti lalai? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kesengajaan sebenarnya terbagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan yang bersifat tujuan, kesengajaan secara keinsafan kepastian, dan kesengajaan secara keinsafan kemungkinan. Sementara tidak sengaja dapat diartikan sebagai lalai. Bagaimana membedakan kesengajaan dan kelalaian atau ketidaksengajaan tersebut?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 16 Juni 2020.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kesengajaan (Opzet)

    Yang dimaksud dengan sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang diperbuat atau dilakukan. Undang-undang tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan, namun dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026, terdapat istilah “dengan rencana lebih dahulu” sebagai berikut:

    KUHP

    UU 1/2023

    Pasal 340

    Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

    Pasal 459

    Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

    Pasal 355 ayat (1)

    Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun

    Pasal 469 ayat (1)

    Setiap orang yang melakukan penganiayaan berat dengan rencana lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

    Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia menerangkan bahwa sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan culpa (hal. 65). Hal ini dikarenakan, biasanya, yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja (hal. 65 – 66).

    Lantas, apa itu unsur dengan sengaja? Menurut Wirjono, kesengajaan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

    1. Kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk)
      Dalam kesengajaan yang bersifat tujuan, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman pidana (hal. 67).

    Kesengajaan bentuk ini menimbulkan dua teori, yaitu teori kehendak dan teori bayangan. Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku.

    Sementara, teori bayangan menganggap kesengajaan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai. Maka dari itu, ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu (hal. 67).

    Sebagai contoh, dalam Putusan PN Tebing Tinggi No. 593/Pid.B/2014/PN.TBT, majelis makim menyatakan terdakwa, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang” dan menjatuhkan pidana penjara selama 8 bulan (hal. 12).

    Unsur kesengajaan dalam perkara ini terbukti berdasarkan fakta bahwa terdakwa bersama teman-temannya mendatangi kafe tempat saksi korban berada. Saksi korban kemudian menutup pintu, namun terdakwa dan teman-temannya menendang pintu hingga terbuka (hal. 10).

    1. Kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn)

    Menurut Wirjono, kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu (hal. 67 – 68).

    Contoh, dalam Putusan PN Garut No. 158/Pid.B/2014/PN.Grt., majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan” dan menjatuhkan pidana penjara selama 3 bulan (hal. 12).

    Dalam pertimbangannya, diterangkan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan karena terdakwa terbawa emosi, karena merasa dibohongi oleh saksi korban. Terdakwa tidak mampu mengendalikan emosinya dan mengakibatkan terjadinya peristiwa pemukulan (hal. 9-10).

    Terdakwa menyadari bahwa pemukulan yang dilakukan terhadap saksi korban dapat menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau setidak-tidaknya dapat merugikan kesehatan orang lain. Oleh karena itu, opzet perbuatan terdakwa termasuk dalam bentuk opzet bij zekerheids-bewustzijn, yaitu kesengajaan secara keinsafan kepastian (hal. 10).

    1. Kesengajaan keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn)

    Sementara, kesengajaan keinsafan kemungkinan ini menurut Wirjono dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan itu tetap akan dilakukan oleh si pelaku (hal. 69–70).

    Kalau hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kalau perlu akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibatnya tetap terjadi (hal. 70).

    Baca juga: Hukumnya Jika Hewan Peliharaan yang Berkeliaran Mati Ditabrak

    Kelalaian (Culpa)

    Di sisi lain, ilmu hukum pidana mengenal istilah culpa. Disarikan dari artikel Kelalaian yang Merugikan Orang Lain Menurut Hukum Pidana, yang dimaksud dengan kealpaan, kelalaian, atau culpa adalah macam kesalahan dalam hukum pidana sebagai akibat dari kurang berhati-hati, sehingga secara tidak sengaja sesuatu itu terjadi. 

    Undang-undang juga tidak mendefinisikan pengertian dari culpa, namun terkait dengan culpa, terdapat contoh pasal mengenai hal tersebut yaitu kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain yang diatur dalam Pasal 359 KUHP dan Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023, yang berbunyi:

    Pasal 359 KUHP

    Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023

    Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

     

    Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta.[2]

    Menurut Wirjono, arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”. Tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan, namun karena kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (hal. 72).

    Terkait kelalaian, Andi Hamzah yang mengutip J. Remmelink dalam buku Hukum Pidana Indonesia menerangkan bahwa siapa karena salahnya melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang seharusnya dipergunakan (hal. 123).

    Menurut Van Hamel sebagaimana dikutip Andi Hamzah dalam buku yang sama, kelalaian dibagi atas dua jenis, yaitu ‘kurang melihat ke depan yang perlu’ dan ‘kurang hati-hati yang perlu’ (hal. 123).

    Yang pertama terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang terjadi. Yang kedua, misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada) (hal. 124).

    Menjawab pertanyaan Anda, Wirjono dalam buku yang sama menyamakan kelalaian dengan culpa (hal. 74). Artinya, tidak sengaja juga berarti lalai.

    Sementara, dalam Penjelasan Pasal 474 ayat (1) UU 1/2023 menerangkan bahwa kealpaan menunjukkan bahwa pelaku tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Namun, dalam kejadian konkret terdapat kesulitan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan dapat disebut dengan kealpaan. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut, pengertian kealpaan diserahkan kepada pertimbangan hakim untuk melakukan penilaian terhadap kasus yang dihadapi.

    Dalam Putusan PN Kayuagung No. 251/Pid.Sus/2018/PN Kag, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya mengakibatkan korban meninggal dunia”, dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun (hal. 9 – 10).

    Dalam pertimbangan, majelis hakim mengutip pendapat Van Hamel yang menyatakan bahwa culpa mengandung dua syarat, yaitu tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum (hal. 7).

    Menurut majelis hakim, unsur kelalaian ini terbukti berdasarkan fakta persidangan bahwa terdakwa membonceng dua orang dan mengendarai motor dengan kecepatan kira-kira 70 km/jam. Terdakwa tidak mengurangi kecepatan ketika mengambil jalur dengan kondisi jalan berlubang/retak dan menurun. Dari arah berlawanan, ada pengendara motor, namun terdakwa tidak memerhatikannya, sehingga terjadi kecelakaan yang mengakibatkan pengendara motor itu dan satu teman terdakwa meninggal di tempat (hal. 8).

    Majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak menduga-duga dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum ataupun berpikir bahwa perbuatannya akan menimbulkan kecelakaan mengakibatkan korban meninggal (hal. 8).

    Demikian jawaban dari kami tentang apa perbedaan sengaja dan tidak sengaja dalam hukum pidana, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    Putusan:

    1. Putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 158/Pid.B/2014/PN.Grt;
    2. Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor 593/Pid.B/2014/PN.TBT;
    3. Putusan Pengadilan Negeri Kayuagung Nomor 251/Pid.Sus/2018/PN Kag.

    Referensi:

    1. Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2017;
    2. Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2003.

    [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023

    Tags

    air keras
    hukum pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!