Tolak Vaksinasi COVID-19 Dipidana? Begini Perspektif HAM
Hak Asasi Manusia

Tolak Vaksinasi COVID-19 Dipidana? Begini Perspektif HAM

Bacaan 5 Menit

Pertanyaan

Bagaimana penjabaran hukum tentang sanksi menolak untuk divaksin COVID-19 dan bagaimana pembelan HAM/pembelaan hukum lainnya jika masyarakat menolak untuk divaksin? Terima kasih.

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Di Indonesia, bagi orang yang menolak vaksin dapat dianggap tidak mematuhi dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Kemudian, di DKI Jakarta juga telah terbit Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 yang memberikan sanksi pidana denda bagi penolak vaksin COVID-19.

Di mata Hak Asasi Manusia (HAM), apakah kewajiban vaksinasi dan pemberian sanksi bagi penolak vaksinasi COVID-19 ini sudah tepat?

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Pemerintah menyatakan vaksinasi COVID-19 merupakan sebuah kewajiban dan terdapat sanksi bagi orang yang menolak divaksin. Dalam hal ini, menolak vaksin dapat dianggap tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.

Ketentuan di atas merujuk pada Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (“UU 6/2018”), di mana sanksinya sebagai berikut:

Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.

Hal ini mengingat pemberian vaksinasi merupakan salah satu tindakan kekarantinaan kesehatan.[1] Selain itu, di DKI Jakarta terdapat peraturan daerah yang mengancam pidana denda bagi setiap orang yang menolak vaksinasi dalam Pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (“Perda DKI 2/2020”) yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5 juta.

Baca juga: Menolak Vaksinasi COVID-19, Bisakah Dipidana?

Patut digarisbawahi, meskipun bukan satu-satunya cara, vaksinasi merupakan salah satu cara untuk menghentikan pandemi virus. Vaksinasi sangat dibutuhkan karena mempercepat adanya kekebalan komunitas atau herd immunity di masyarakat dengan harapan agar pandemi bisa lebih cepat diakhiri.

Vaksinasi merupakan wujud pemenuhan kewajiban pemerintah untuk melindungi kesehatan publik. Mendapatkan vaksinasi merupakan bagian dari hak atas kesehatan warga negara sejalan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Meskipun demikian, World Health Organization (WHO) menyatakan mewajibkan vaksinasi justru akan menjadi bumerang yang memicu orang-orang untuk bersikap antipati terhadap vaksin COVID-19.

Sebagian masyarakat yang menolak vaksinasi berpendapat bahwa mewajibkan vaksinasi merupakan pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Selain itu, juga dianggap sebagai pelanggaran integritas terhadap tubuh seseorang yang sebenarnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU 36/2009”), pada:

Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009

Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 8 UU 36/2009

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pasal 56 ayat (1) UU 36/2009

Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Namun patut dicatat, terdapat pengecualian Pasal 56 ayat (1) UU 36/2009 yakni hak untuk menerima atau menolak tersebut tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas.[2]

Menyambung pertanyaan Anda, sebaiknya tidak ada pemidanaan terhadap orang yang menolak vaksinasi. Pemidanaan justru berpotensi memunculkan ketidaksukaan masyarakat sehingga justru berisiko timbul penolakan atas program penanggulangan COVID-19 secara keseluruhan.

Pemidanaan harusnya dihindari jika masih ada jalan lain untuk mendorong masyarakat mengikuti program kesehatan demi kepentingan masyarakat itu sendiri (kesehatan publik).

Pendekatan represif terhadap penolakan vaksinasi justru berpotensi menjauhkan dukungan dari publik. Sebagai contoh, pemerintah bisa melihat Australia yang mendorong vaksinasi tapi tidak mewajibkannya, sebagaimana dikutip dari Australian COVID-19 Vaccination Policy oleh Australian Government (hal. 6):

While the Australian Government strongly supports immunisation and will run a strong campaign to encourage vaccination, it is not mandatory and individuals may choose not to vaccinate. There may however, be circumstances where the Australian Government and other governments may introduce border entry or re-entry requirements that are conditional on proof of vaccination.

Dengan terjemahan bebasnya berarti Australia tidak mewajibkan vaksinasi dan individu dapat memilih untuk tidak divaksinasi. Namun, pemerintah Australia dapat mensyaratkan vaksinasi untuk masuk ke perbatasan.

Selain itu, sebagai tambahan pemerintah bisa memberi insentif khusus terhadap masyarakat yang secara sukarela melakukan vaksinasi.

Selanjutnya, setiap warga negara berhak untuk menguji kebijakan yang dianggap tidak sesuai. Seperti dikutip dari Advokat Ini ‘Gugat’ Perda DKI Penanggulangan Covid-19 ke MA, Pasal 30 Perda DKI 2/2020 terkait sanksi pidana denda bagi penolak vaksin diajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

Di sisi lain, UU 6/2018 sebagaimana disebutkan di atas juga bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi. Terlebih pada Pasal 93 UU 6/2018 merupakan delik materil yang harus dibuktikan dampak kedaruratan kesehatan masyarakat yang dimaksud.

Baca juga: Cara Membedakan Delik Formil dan Delik Materil

Tidak hanya itu, jika ada yang tidak sesuai terkait penegakan hukum terhadap penolak vaksinasi, khususnya setiap prosedur hukum yang ditempuh, yang bersangkutan bisa melaporkannya. Misal, tentang kinerja kepolisian atau pelayanan publik.

Baca juga: Cara Menyampaikan Komplain atas Pelayanan Polisi dan Cara Melaporkan Maladministrasi ke Ombudsman

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan;
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
  4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
  5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
  6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019.

 

Referensi:

Australian COVID-19 Vaccination Policy, diakses pada 25 Januari 2021, pukul 17.02 WIB.


[1] Pasal 15 ayat (2) UU 6/2018

[2] Pasal 56 ayat (2) huruf a UU 36/2009

Tags: