KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing?

Share
Perdata

Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing?

Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing?
Adelifka, S.H.AkhmadLaw Partnership

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Apakah wajib membuat kontrak dalam dua bahasa jika ada pihak asing yang terlibat? Lalu, adakah kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam perjanjian dan dokumen resmi negara?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Dalam UU 24/2009 maupun Perpres 63/2019, jika kontrak/perjanjian melibatkan pihak asing, perjanjian ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Namun, UU 24/2009 maupun Perpres 63/2019 tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggarannya.

    Lantas, bagaimana dengan ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian dan dokumen resmi negara?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini. 

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tb. A. Adhi R. Faiz, S.H., M.H. dari Ikatan Kekeluargaan Advokat UI (IKA Advokat UI) yang dipublikasikan pada 23 Mei 2011.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kontrak dalam Hukum Perdata

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu mengenai kontrak secara mendasar dalam kajian teoritis. Kontrak merupakan persetujuan yang dilakukan antara dua pihak atau lebih yang berupa perjanjian dan berasaskan timbal balik, diakui berdasarkan hukum atau yang pelaksanaannya diakui sebagai suatu kewajiban hukum bagi para pihak yang memiliki kepentingan didalamnya yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Hal ini sejalan dengan definisi dari Black’s Law Dictionary yang mengemukakan:[1]

    An agreement between two or more parties creating obligations that are enforceable or otherwise recognizable at law.

    Dalam mendefinisikan kontrak itu sendiri, Pasal 1313 KUH Perdata juga mengatur sebagai berikut:

    Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

    Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor penting dari suatu kontrak/perjanjian yaitu adanya persetujuan dan hak serta kewajiban dari para pihak untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan isi dari akta perjanjian.

    Dalam penyusunan suatu kontrak, secara prinsip wajib memenuhi syarat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    Adapun syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

    Penjelasan selengkapnya mengenai syarat sah perjanjian dapat Anda baca pada artikel Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian.

    Dengan demikian, agar suatu kontrak dapat dikatakan sah secara hukum, unsur-unsur dalam perjanjian harus memenuhi kriteria subjektif dan objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketidakabsahan suatu perjanjian disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat sah subjektif dapat berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan[2] yang pembatalannya dapat diajukan kepada Majelis Hakim atau melalui Pengadilan.

    Sementara, apabila kontrak tidak dibuat dengan pemenuhan syarat-syarat sah objektif berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void), dimana perjanjian tersebut tidak melahirkan hak dan kewajiban yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang terlibat.

    Baca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi

    Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing?

    Menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, ketentuan yang mengatur mengenai penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian tidak diatur dalam KUH Perdata, akan tetapi, dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 dan Pasal 26 ayat (1) Perpres 63/2019 yang menyatakan poin yang sama bahwa:

    Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

    Sebagai informasi, yang dimaksud dengan perjanjian di atas adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa- bahasa organisasi internasional.[3]

    Kemudian, untuk mengakomodir perjanjian yang dibuat dengan melibatkan salah satu atau sebagian pihak asing, Pasal 31 ayat (2) UU 24/2009 dan Pasal 26 ayat (2) Perpres 63/2019 menyebutkan bahwa:

    Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

    Adapun dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.[4]

    Lebih lanjut, bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana dimaksud digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.[5] Lalu, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan, bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) Perpres 63/2019.

    Kemudian, berkaitan dengan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, Pasal 4 Perpres 63/2019 mengatur:

    1. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara.
    2. Dokumen resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, dan putusan pengadilan.
    3. Surat perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan perjanjian internasional.
    4. Dokumen resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berlaku secara internasional dapat disertai Bahasa Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    5. Bahasa Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan tanpa mengurangi keautentikan dokumen resmi negara.
    6. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap dokumen yang disertai Bahasa Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dokumen yang berbahasa Indonesia menjadi rujukan utama.

    Dari penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa dalam hal kontrak/perjanjian melibatkan pihak asing, perjanjian ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Namun dalam hal ini, sepanjang penelusuran kami, UU 24/2009 maupun Perpres 63/2019 sama sekali tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggarannya.

    Akan tetapi perlu diingat, penggunaan bahasa Indonesia menjadi wajib dalam hal perjanjian melibatkan lembaga negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga wajib digunakan dalam dokumen resmi negara.

    Kemudian, berdasarkan praktik kami, penyusunan kontrak bilingual juga merupakan salah satu langkah preventif dalam menghindari munculnya sengketa dimana terdapat resiko perjanjian batal demi hukum meskipun dalam UU 24/2009 maupun Perpres 63/2019 tidak mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggarannya. Meskipun tidak ada sanksi yang diatur secara tegas, terdapat risiko adanya klaim agar kontrak yang melanggar ketentuan ini dapat diajukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam kontrak atau pihak ketiga yang dirugikan. Dalam upaya menghindari risiko terhadap klaim tersebut, perlu juga diperhatikan terkait tafsir yang akan dipegang oleh para pihak yang bersangkutan.

    Sehingga menurut hemat kami, para pihak perlu menyepakati bahasa yang akan digunakan saat proses awal pembuatan perjanjian untuk menafsirkan perbedaan maksud yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan unsur perjanjian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (4) Perpres 63/2019, isi pasal tersebut merujuk pada resolusi konflik, dimana jika terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa yang disepakati dalam perjanjian.

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
    Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia

    REFERENSI

    1. Bryan A. Garner. Black's Law Dictionary, Tenth Edition. West Publishing Company, 2008;
    2. Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUH Perdata). Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012.

    [1] Bryan A. Garner. Black’s Law Dictionary, Tenth Edition. West Publishing Company, 2008, hal. 389

    [2] Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012, hal. 4

    [3] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”)

    [4] Penjelasan Pasal 31 ayat (2) UU 24/2009

    [5] Pasal 26 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (“Perpres 63/2019”)

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda