Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua kali oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul “Pasal untuk Menjerat Anak yang Lakukan Pencabulan” yang pertama kali dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 13 Maret 2013, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada Senin, 14 Maret 2016.
Intisari:
Perlu dibuktikan dan diterangkan lebih lanjut perbuatan apa yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan (berumur di bawah 18) tersebut, apakah perbuatan cabul atau benar-benar melakukan hubungan layaknya suami-istri (hubungan seksual/persetubuhan). Meskipun benar demikian, anak belum berumur 18 tahun yang melakukan tindak pidana pencabulan tidak dapat dipidana, melainkan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perbuatan Cabul Terhadap Anak
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul
Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual,
Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “
Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”)
tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam
Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “
KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya
R. Soesilo (hal. 212), Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya;
termasuk pula persetubuhan namun di undang-undang disebutkan sendiri.
Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
Jika memang perbuatan yang dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan itu berupa perbuatan cabul yang diawali dengan rayuan terlebih dahulu, maka perbuatan tersebut melanggar Pasal 76E UU 35/2014 yang menyatakan:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 Perpu 1/2016 sebagai berikut:
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Anak yang Melakukan Pencabulan Tidak Dapat Dipidana
Tetapi karena yang melakukan perbuatan cabul tersebut masih anak (masih di bawah 18 tahun), maka
ia tidak dapat dipidana, hal yang sama juga pernah dijelaskan dalam artikel
Hukumnya Bagi Anak yang Mencabuli Balita.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”), mempunyai prinsip yaitu
menjauhkan anak dari penjara. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak dapat disamakan layaknya tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pendekatan
restorative justice harus dikedepankan, yaitu sebagaimana disebut dalam
Pasal 1 angka 6 UU 11/2012:
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Lebih lanjut mengenai hal ini menurut Pasal 21 ayat (1) UU 11/2012 diatur sebagai berikut:
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
[1] Pasal 1 angka 1 UU 35/2014