Intisari:
Memang Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetapi hal tersebut hanya berlaku untuk orang yang tunduk pada peradilan umum, berbeda dengan anggota militer yang tunduk pada peradilan militer. Oleh karena itu, anggota militer tersebut akan diadili melalui pengadilan yang berada di bawah peradilan militer. Kecuali jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan anggota militer bersama-sama dengan orang yang tunduk pada peradilan umum, maka pengaturannya akan berbeda. Perlu dilihat dulu kasus per kasus. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perlu dipahami bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikor.
[1]
Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
[2]
Mengenai kewenangannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
[3] Frasa ”satu-satunya pengadilan” memiliki maksud yaitu pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum.
[4]
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
[5]tindak pidana korupsi;
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau
tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Selain itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.
[6]
Kewenangan Peradilan Militer
Sementara itu, peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
[7]
Berdasarkan Pasal 9 UU Peradilan Militer, Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
Prajurit;
yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Perlu dipahami juga bahwa yang dimaksud dengan Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Prajurit) adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.
[8]
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, manakah yang lebih diutamakan antara kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan Pengadilan yang berada di bawah Peradilan Militer jika korupsi dilakukan oleh anggota militer. Memang UU Pengadilan Tipikor menyebutkan bahwa satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetapi hal tersebut hanya berlaku untuk orang yang tunduk pada peradilan umum, berbeda dengan anggota militer yang tunduk pada peradilan militer. Oleh karena itu, anggota militer tersebut akan diadili melalui pengadilan yang berada di bawah peradilan militer. Kecuali jika tindak pidana tersebut dilakukan anggota militer, bersama-sama dengan orang yang tunduk pada peradilan umum, maka pengaturannya akan berbeda sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Jadi menurut hemat kami, harus lihat kasus per kasus dan siapa yang melakukannya.
Koneksitas
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Kapan perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, dapat dilihat dalam Pasal 90 dan 91 UU Peradilan Militer yang jika dirangkum menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (hal. 30) sebagai berikut:
Untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas, diukur dari segi “kerugian” yang ditimbulkan tindak pidana itu
Apabila kerugian yang ditimbulkan tindak pidana titik beratnya merugikan “kepentingan militer”, sekalipun pelaku tindak pidananya lebih banyak dari kalangan sipil, pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan oleh lingkungan peradilan militer.
Selama kerugian yang ditimbulkan tidak merugikan kepentingan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak dari TNI/Polri, berlakulah prinsip perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum.
Kami mengasumsikan kembali bahwa apabila tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang yang tunduk pada peradilan umum bersama dengan orang yang tunduk pada peradilan militer, maka prinsip koneksitas dapat diberlakukan. Hal ini juga diatur secara khusus dalam Pasal 39 UU Pemberantasan Tipikor, dijelaskan bahwa:
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Terlebih lagi, kewenangan itu juga dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdapat dalam Pasal 42 UU KPK:
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Sebagai contoh, kasus perkara dengan menerapkan sistem koneksitas dapat dilihat pada tahun 2002 dalam penanganan kasus korupsi
Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan Ustraindo Petro Gas (UPG) dengan tersangka Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri yang juga anggota TNI. Saat itu dibentuk Tim Penyidik Koneksitas dari unsur TNI dan Kejaksaan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep. 141/A/JA/04/2001 tanggal 9 April 2001 tentang Pembentukan Tim Koneksitas Penyidikan perkara Tersangka Prof. DR. Ir. Ginanjar Kartasasmita, dkk. Pada tingkat kasasi, dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 35K/Pid/2002, permohonan kasasi dikabulkan sehingga memberikan kewenangan bagi Jaksa Agung Republik Indonesia untuk menahan dan melakukan penyidikan kembali. Simak juga artikel
Penahanan Ginandjar Sah, Tapi Ginandjar Sudah di Amerika Serikat.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 1 UU KPK
[2] Pasal 2 UU Pengadilan Tipikor
[3] Pasal 5 UU Pengadilan Tipikor
[4] Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan Tipikor
[5] Pasal 6 UU Pengadilan Tipikor
[6] Pasal 7 UU Pengadilan Tipikor
[7] Pasal 5 ayat (1) UU Peradilan Militer
[8] Pasal 1 angka 42 UU Peradilan Militer