KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Sanksi Jika Mendirikan Rumah Ibadah yang Tak Berizin

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Sanksi Jika Mendirikan Rumah Ibadah yang Tak Berizin

Sanksi Jika Mendirikan Rumah Ibadah yang Tak Berizin
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Sanksi Jika Mendirikan Rumah Ibadah yang Tak Berizin

PERTANYAAN

Jika ada pelaksanaan ibadah di rumah ibadah yang tidak berizin pada suatu lingkungan perumahan, bolehkah kami sebagai warga melarang hal itu? Bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut menurut hukum? Adakah sanksinya terhadap pihak yang melakukan ibadah di rumah ibadah yang tidak berizin?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Pada dasarnya rumah ibadat harus berizin. Harusnya yang dilarang adalah pembangunan gedungnya jika tak berizin, bukan ibadah yang dilakukan.
     
    Bagaimana cara menyelesaikan masalah pelaksanaan ibadah pada rumah ibadah yang tidak berizin dan apa sanksinya jika menyelenggarakan bangunan gedung/mendirikan rumah ibadat yang tak berizin?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Pada dasarnya rumah ibadat harus berizin. Harusnya yang dilarang adalah pembangunan gedungnya jika tak berizin, bukan ibadah yang dilakukan.
     
    Bagaimana cara menyelesaikan masalah pelaksanaan ibadah pada rumah ibadah yang tidak berizin dan apa sanksinya jika menyelenggarakan bangunan gedung/mendirikan rumah ibadat yang tak berizin?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Rumah Ibadat Harus Berizin
    Rumah ibadat menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (“Peraturan Bersama 2 Menteri”) adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
     
    Bangunan dimaksud mengacu ke definisi bangunan gedung yang terdapat di Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”), yang bunyinya:
     
    Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
     
    Fungsi bangunan gedung untuk kegiatan keagamaan meliputi masjid (termasuk mushola), gereja (termasuk kapel), pura, wihara, dan kelenteng.[1]
     
    Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Dalam mendirikan rumah ibadat tesebut, harus dilakukan dengan tetap memperhatikan poin-poin berikut:[2]
    1. menjaga kerukunan umat beragama;
    2. tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum
    3. serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
     
    Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk yang digunakan adalah batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.[3]
     
    Adapun dalam mendirikan rumah ibadat harus memenuhi syarat persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung dan juga syarat khusus yang telah ditentukan oleh Pasal 14 ayat (1) dan (2) Peraturan Bersama 2 Menteri sebagaimana pernah dijelaskan di artikel Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat, yaitu:
    1. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (“KTP’) pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;
    2. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
    3. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
    4. rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
     
    Jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.[4]
     
    Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) rumah ibadat.[5] Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.[6]
     
    Kemudian, Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.[7]
     
    Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, pada dasarnya mendirikan sebuah rumah ibadat harus mengantongi izin dari pihak yang berwenang (bupati/walikota).
     
    Penyelesaian Masalah Jika Keberatan atas Rumah Ibadah Tak Berizin
    Bolehkah melarang orang beribadah di rumah ibadah yang tidak berizin? Pada dasarnya tidak ada larangan beribadah bahkan Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Sebagaimana pernah diulas pada artikel Sanksi Hukum Jika Menghalangi Orang Melaksanakan Ibadah, Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), menjamin hal itu, yakni:
     
    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
     
    Selain itu, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) menyatakan bahwa hak beragama adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, berikut bunyi pasal selengkapnya:
     
    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
     
    Tidak hanya itu Pasal 22 UU HAM juga memberikan kebebasan orang untuk beribadah, yakni:
    1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
    2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
     
    Hanya saja, ibadah harus dilakukan di tempat-tempat yang sesuai peruntukannya untuk beribadah. Dalam kasus rumah ibadat yang tidak berizin, jika penggunaan bangunan gedung tidak sesuai dengan peruntukannya, maka bangunan tersebut dilarang untuk digunakan untuk beribadah, sampai bangunan gedung itu memiliki izin. Dalam konteks pertanyaan Anda, harusnya yang dilarang adalah pembangunan gedungnya bukan ibadah yang dilakukan.
     
    Kemudian menjawab pertanyaan Anda mengenai cara menyelasaikan masalah pelaksanaan ibadah pada rumah ibadah yang tidak berizin? Menurut hemat kami, warga harus menyelesaikan masalah perizinan rumah ibadah terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi rasa hormat sebaiknya menghimbau warga untuk beribadah pada tempat ibadah yang mempunyai izin atau tempat lain yang dapat dijadikan tempat beribadah untuk sementara waktu.
     
    Apabila terjadi konflik antar warga, maka harus diselesaikan secara musyawarah mufakat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Bersama 2 Menteri:
     
    Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.
     
    Namun, dalam hal musyawarah oleh masyarakat setempat tidak dicapai, musyawarah dilanjutkan dengan musyawarah yang dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota sebagai bentuk penyelesaian perselisihan yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran Forum Kerukunan Umat beragama (“FKUB”) kabupaten/kota.[8]
     
    Jika musyawarah oleh bupati/walikota yang dibantu kepala kantor departemen agama secara musyawarah tidak dicapai kesepakatan pula, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat.[9]
     
    Sanksi Menyelenggarakan Bangunan Gedung yang Tidak Berizin
    Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa bukan ibadahnya yang dilarang melainkan hanya penggunaan bangunan gedung yang tidak berizin yang harusnya dilarang dan dikenakan sanksi.
     
    Perlu diketahui bahwa setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam UU 28/2002 (dalam hal ini termasuk tidak memiliki izin) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.[10]
     
    Sanksi administratif yang dimaksud dapat berupa:[11]
      1. peringatan tertulis,
      2. pembatasan kegiatan pembangunan,
      3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan,
      4. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
      5. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
      6. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
      7. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
      8. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
      9. perintah pembongkaran bangunan gedung.
     
    Selain pengenaan sanksi administratif di atas, dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun. Jenis pengenaan sanksi administratif dan denda, ditentukan oleh berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan.[12] Demikan halnya dengan sanksi pidana juga dikenakan berdasarkan akibat atau kerugian yang diperoleh dari gedung.[13]
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
     

    [1] Pasal 5 ayat (3) dan penjelasannya UU 28/2002
    [2] Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [3] Pasal 13 ayat (3) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [4] Pasal 14 ayat (3) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [5] Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [6] Pasal 1 angka 7 Peraturan Bersama 2 Menteri
    [7] Pasal 16 ayat (2) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [8] Pasal 21 ayat (2) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [9] Pasal 21 ayat (3) Peraturan Bersama 2 Menteri
    [10] Pasal 44 UU 28/2002
    [11] Pasal 45 ayat (1) UU 28/2002
    [12] Pasal 45 ayat (2) dan (3) UU 28/2002
    [13] Pasal 46 UU 28/2002

    Tags

    hukumonline
    rumah ibadah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!