Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: Pengaturan dan Penerapannya

Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: Pengaturan dan Penerapannya

Doktrin merupakan sumber hukum yang sah, dan dapat dirujuk hakim ketika memeriksa dan memutus perkara. Tulisan ini membahas doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi.
Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: Pengaturan dan Penerapannya

Korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sebagai subjek hukum, korporasi mempunyai hak dan kewajiban. Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menegaskan prinsip ini dalam Pasal 45: korporasi merupakan subjek tindak pidana.

Ayat (2) pasal ini menjelaskan bahwa korporasi mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. KUHP baru ini mengatur korporasi dalam arti yang sangat luas.

Penuntutan terhadap korporasi tidak semudah membalik telapak tangan berhubung peraturan perundang-undangan masih berbeda-beda mengatur tindak pidana korporasi. Ada undang-undang yang belum jelas mengaturnya. Sekadar contoh Pasal 61 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan 'penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya’. Pelaku usaha menurut undang-undang ini termasuk korporasi, tetapi tidak ada penjabaran lebih lanjut bagaimana pelaku usaha dan/atau pengurusnya diproses hukum apabila terjadi tindak pidana dalam lingkup perlindungan konsumen.

Sebagai pedomannya bagi penuntut umum sudah ada Peraturan Jaksa Agung No. PER-028/A/JA/10/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Persoalan-persoalan yang harus dijawab jaksa adalah bagaimana pelanggaran hukum terjadi, perbuatan mana yang dapat ditimpakan tanggung jawabnya kepada korporasi, dan siapa yang bertanggung jawab. Tidak kalah pentingnya adalah atas dasar apa korporasi dimintai tanggung jawab pidana. Dalam konteks inilah berkembang pendapat dan pandangan sarjana, yang kemudian dianggap sebagai doktrin.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional