2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah
Lipsus Akhir Tahun 2018:

2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah

Terbitnya revisi PP Perangkat Daerah yang direncanakan pada awal tahun 2019, diharapkan berlaku efektif dalam upaya pencegahan korupsi di daerah.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

Berikut daftar 23 kepala daerah yang tertangkap tangan KPK selama 2018:

Hukumonline.com

 

Beragam modus dan motivasi

Ke-23 kepala daerah yang diproses KPK hingga ke pengadilan itu, umumnya terjerat kasus suap dengan beragam modus seperti diancam Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, Pasal 12B, Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64, Pasal 65 ayat (1) KUHP. Sebagian kepala daerah tersebut sudah divonis terbukti bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.   

 

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, penerimaan uang sebagai fee proyek pengadaan barang dan jasa modus paling menonjol hampir di semua kasus suap yang melibatkan kepala daerah tersebut. Modus lain, penerimaan uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus, hingga pembiayaan politik dalam perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada serentak). Baca Juga: Terpilihnya Tersangka Korupsi di Pilkada 2018 Hambat Kemajuan Daerah

 

Suap modus pembiayaan politik terjadi dalam kasus penerimaan suap Mantan Walikota Kendari periode 2012-2017 Asrun dan Wali Kota Kendari 2017-2022 Adriatma Dwi Putra. Bapak dan anak ini, terbukti korupsi menerima suap totalnya sebesar Rp6,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah agar mendapat proyek pekerjaan multiyears pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port tahun 2018-2020 dengan nilai proyek sebesar Rp60,168 miliar.

 

Modusnya, Adriatma meminta Hasmun membantu biaya kampanye Asrun sebesar Rp2,8 miliar untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara Tahun 2018. Modus korupsi untuk biaya kampanye juga terjadi dalam kasus suap Bupati Ngada Marianus Sae terkait sejumlah proyek di daerah tersebut sekitar Rp4,1 miliar. Ada dugaan kuat dana tersebut digunakan Marianus sebagai dana kampanye yang berencana maju dalam Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur Tahun 2018. 

 

Ironis memang. Korupsi berupa suap tentu berdampak buruk terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sangat merusak proses demokrasi lokal yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat setempat, bukan mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik. Diakui semua pihak, biaya politik memang sangat mahal sebagai satu faktor yang mendorong kepala daerah melakukan korupsi. 

 

Mengutip hasil kajian KPK, telah dihimpun data sejumlah instansi dan lembaga antikorupsi. Misalnya, data Kemendagri menunjukan modus korupsi kepala daerah terkait penyuapan, penyalahgunaan anggaran, penyelewengan pengadaan barang/jasa, dan perizinan. Menurut data Litbang Kemendagri itu, penyebab kepala daerah melakukan korupsi karena perilaku kepala daerah dan biaya pilkada yang mahal. Misalnya, menjadi walikota/bupati dibutuhkan biaya politik kisaran Rp20-Rp50 miliar dan menjadi gubernur kisaran Rp20-Rp100 miliar.

 

Kajian Kemendagri itu diperkuat penelitian dari Perludem bahwa akibat tingginya biaya kampanye yang harus ditanggung pasangan calon kepala daerah. Lalu ketika terpilih, mereka berusaha membayar utang biaya kampanye sekaligus mengumpulkan biaya kampanye untuk pilkada berikutnya. Akibatnya, banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi mengambil jalan pintas mengumpulkan dana politik. Baca Juga: Mengapa Kepala Daerah “Gemar” Korupsi? Ini Kajian KPK

Tags:

Berita Terkait