2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah
Lipsus Akhir Tahun 2018:

2018 ‘Darurat’ Korupsi Kepala Daerah

Terbitnya revisi PP Perangkat Daerah yang direncanakan pada awal tahun 2019, diharapkan berlaku efektif dalam upaya pencegahan korupsi di daerah.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat sejak 2004 hingga 2018, kepala daerah yang terlibat korupsi yang ditangani KPK sebanyak 105 kepala daerah. Namun, tahun 2018 menjadi tahun terbanyak/tertinggi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yakni sebanyak 20-an lebih. Tertinggi kedua pada tahun 2014, dengan 14 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK.

 

KPK terus mencari formula yang tepat guna menjembatani antara penyelenggaraan otonomi daerah yang baik dan upaya menghadirkan calon pemimpin daerah yang ideal dan berintegritas. Salah satu rekomendasi KPK, pembiayaan partai politik (parpol) memadai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini agar keuangan parpol mendapat porsi dari negara agar setiap kader parpol tidak menggadaikan banyak hal atau mengeluarkan anggaran pribadi saat berkontestasi dalam pilkada, sehingga parpol lebih independen dari pengaruh pemilik modal (pengusaha).

 

Saat ini bantuan keuangan parpol diatur dalam PP No. 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PP No. 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik. Hanya saja, bantuan ini berlaku bagi anggota legislatif terpilih. Misalnya, besaran nilai bantuan keuangan kepada parpol yang mendapat kursi di DPR adalah Rp 1.000 per suara sah; DPRD tingkat provinsi besarannya Rp 1.200 per suara sah. Sedangkan, DPRD kabupaten/kota sebesar Rp1.500 per suara sah.

 

Penguatan APIP

Maraknya korupsi kepala daerah sepanjang 2018, salah satunya disebabkan lemahnya sistem pengawasan dalam lingkup pemerintahan daerah. Misalnya, keberadaan inspektorat daerah atau lazim disebut Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) “tersandera” karena secara struktur di bawah kepala daerah. Bisa dibayangkan pegawai inspektorat yang diangkat dan diberhentikan kepala daerah, kemudian mengawasi atasannya sendiri hingga penjatuhan sanksi.

 

Seperti diketahui, pengawasan intern kementerian/lembaga atau pemerintah daerah dilakukan oleh APIP. APIP terdiri dari Inspektorat Jenderal Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota. Sesuai UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir kali diubah dengan UU No.9 Tahun 2015, kepala daerah wajib melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan itu, kepala daerah dibantu oleh Inspektorat Provinsi atau Inspektorat Kabupaten/Kota.

 

Faktanya, ada beberapa kasus dugaan korupsi/suap yang menjerat kepala daerah yang justru melibatkan perangkat daerah termasuk APIP. Seperti kasus penyuapan yang dilakukan Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi bersama-sama Bupati Pamekasan Achmad Syafii yang melibatkan Inspektur Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Bagian Inspektur Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya pada Agustus 2017 lalu.   

 

Sebelumnya, pada Mei 2017, KPK pernah memproses seorang APIP Kementerian. Salah satu Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) diduga menyuap Auditor Utama BPK Rochmadi Saptogiri agar Kemendes PDTT mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait