Ahli: Pancasila sebagai Pilar Tidak Berdasar
Berita

Ahli: Pancasila sebagai Pilar Tidak Berdasar

Penempatan Pancasila sebagai pilar kebangsaan tidak menemukan kebenaran baik secara de facto maupun de jure.

ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Guru Besar FH Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Kaelan MS menilai hampir 14 tahun pascareformasi Pancasila dikubur di bumi Indonesia oleh bangsanya sendiri. Karenanya,  internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi terputus dan bangsa Indonesia terombang-ambing kehilangan pandangan hidup bangsa, sebagai suatu konsensus dan dasar filosofis negara.

Pendapat itu disampaikan Prof Kaelan saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang dimohonkan Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar)  ruang sidang MK Jakarta, Selasa (4/3). Kaelan didatangkan sebagai ahli pemohon bersama Guru Besar FH UGM Prof Sudjito dan Pengajar FH UII Yogyakarta, Prof Jawahir Thontowi.

Kaelan mengatakan situasi kekosongan dan kehampaan ideologi ini sudah semestinya direvitalisasi nilai-nilai dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, bukannya menciptakan terminologi baru yang dapat mengacaukan pemahaman tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Hal ini berakibat menyesatkan pengetahuan Pancasila pada generasi penerus bangsa. 

“Bagaimanapun pemaksaan penggunaan terminologi ‘Pancasila sebagai Pilar Berbangsa dan Bernegara’ dalam Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol adalah keputusan politik yang tidak tepat karena sumbernya tidak dapatt dipertanggungjawabkan secara historis, yuridis maupun ilmiah,” kata ahli filsafat ini.

Dia mengakui secara prinsipl isi UU Parpol sangat baik, terutama ketentuan tentang pendidikan politik yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (3b). Namun, esensi Pancasila harus tetap diletakkan sebagai dasar negara Republik Indonesia, bukan sebagai pilar. Menurut Kaelan, berdasarkan analisis semiotika, Pancasila merupakan sdasar filsafat Hidup berbangsa dan bernegara.

“Dunia internasional sudah memandan Pancasila sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Hubungan indeks nilai-nilai Pancasila itu tidak semata-mata diambil dari budaya asing, melainkan nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yang menurut istilah Notonagoro disebut ‘causa materialis’.”

Dia tambahkan hubungan simbol (konvensi), Pancasila merupakan hasil konsensus luhur founding fathers tatkala mendirikan negara. Karena itu, dalam sidang BPUPK, Soekarno pernah menyatakan, dasar filsafat negara yang akan didirikan itu diberi nama “Pancasila” sesuai pertanyaan Ketua BPUPK dr. Radjiman Widyodiningrat. “Lalu istilah ’Pancasila sebagai Pilar Berbangsa dan Bernegara’ itu sumbernya dari mana?”

Wajib diakhiri
Ahli pemohon lainnya, Guru Besar FH UGM Prof Sudjito berpendapat kontroversi istilah Pancasila sebagai pilar wajib diakhiri. MPR wajib bersedia mengoreksi istilah tersebut dan tidak menggunakannya lagi dalam rangka sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Sudjito mengatakan Pancasila sebagai philosophische grondslag mempunyai kedudukan istimewa dan “rohnya” dalam kehidupan bernegara dan hukum bangsa Indonesia. “Pembukaan UUD 1945 sebagai Staats fundamental norm mempunyai kedudukan tetap dan kuat yang berada pada kedudukan tertinggi dan menjadi sumber bagi pasal-pasal UUD maupun peraturan perundangan lain dibawahnya,” katanya.

Karena itu, lanjutnya, penyelenggara negara (termasuk MPR) sebagai alat perlengkapan negara yang kedudukannya di bawah pembentuk negara wajib mengemban amanah Pancasila sebagai philosophische grondslag dan mengamalkannya secara obyektif sebagai dasar penyelenggaraan negara.

Sementara menurut Prof Jawahir penggunaan empat pilar kebangsaan yang saat ini tengah disosialisasikan sebagai upaya mencegah timbulnya degradasi moral dan jati diri bangsa jelas memiliki cacat secara historis, yuridis, dan sosiologis. “Pro-kontra yang timbul dalam masyarakat terkait penempatan Pancasila sebagai pilar kebangsaan tidak menemukan kebenaran baik secara de facto maupun de jure,” kata Jawahir.

Pengujian Pasal 34 ayat (3b) UU Parpol ini diajukan sejumlah warga negara yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar). Mereka keberatan masuknya Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. Pasal yang diuji, parpol wajib mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Pasal itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan yang sejajar dengan ketiga pilar lainnya. Penempatan Pancasila sebagai pilar merupakan kesalahan fatal karena Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa sebagai dasar negara (philosophie groundslaag) dalam Pembukaan UUD 1945.

Menurut dia, kata ”dasar” dan ”pilar” memiliki makna yang berbeda yang menimbulkan kebingungan dosen di perguruan tinggi saat menjelaskan kepada mahasiswanya. Karena itu, memasukkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan melawan fakta sejarah dan menghianati para pendiri bangsa ini yang bisa bisa meruntuhkan bangsa ini.

Karena itu, ”proyek” sosialisasi oleh MPR mengenai empat pilar yang salah satunya Pancasila harus dihentikan karena menyesatkan bangsa ini. Pasal itu diminta dinyatakan inkonstitusional atau sekurang-kurangnya kata “Pancasila” dalam pasal itu dicabut dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Tags:

Berita Terkait