Dalam kurun belakangan terakhir publik sempat dikagetkan dengan sejumlah kasus bullying atau perundungan di kalangan anak-anak. Nahasnya, ada pula perundungan yang berujung hingga kekerasan fisik. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan angka 87 kasus perundungan yang terjadi pada tri semeter periode 2023. Sedangkan di periode 2021 terdapat 1.283 kasus perundungan.
Kepala Biro Pemberitaan DPR Indra Pahlevi, mengatakan kasus perundungan terhadap anak seolah bak gunung es yang perlu dicegah sedini mungkin. Dia ingat dari aspek regulasi sejatinya sudah banyak peraturan perundangan yang mengatur soal pencegahan dan penindakan terhadap kasus kekerasan terhadap anak
Indra mencatat, UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak sudah terbit cukup lama. Aturan tersebut pun sedianya sudah cukup menjadi payung hukum dalam penanganan berbagai kasus kekerasan maupun perundungan terhadap anak. Namun, kasus perundungan terhadap anak pun kian meningkat melalui dunia siber.
“Tetapi DPR kan tentu levelnya pembuat kebijakan hanya di UU,” ujarnya melalui keterangannya, Sabtu (28/10/2023).
Baca juga:
- Perundungan di Sekolah oleh Anak, Bagaimana Hukumnya?
- Sanksi Bagi Pelaku Bullying yang Menyebabkan Korban Bunuh Di
- Presiden: Pencegahan Kekerasan dan Perundungan Anak Tanggung Jawab Kita Semua
DPR sebagai lembaga legislatif memiliki fungsi pengawasan dengan meminta pemerintah agar konsen melakukan aksi peduli nyata dalam mengatasi persoalan perundungan anak di siber. Terlepas dari itu, fenomena perundungan terhadap anak di dunia siber pun kian bermunculan. Peran regulasi amatlah penting.
Bila dalam UU 35/2014 tidak memuat soal perundungan siber, maka perlu diakomodir dalam Rancangan UU (RUU) Perubahan Kedua atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Apalagi selama ini UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE pun belum mengatur kejahatan perundungan di dunia siber.