BPKN: Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Adopsi Prinsip Strict Liability
Berita

BPKN: Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Adopsi Prinsip Strict Liability

​​​​​​​Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan dan hubungan kontrak melainkan didasarkan pada cacatnya produk dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit

 

“Setiap barang yang dikeluarkan kalau sampai ada atau menimbulkan kerugian, pelaku usaha yang tanggung jawab. Itu prinsip strict liability. Mekanismenya, nanti perlu diatur lebih lanjut. Paling tidak asasnya sudah ada dalam RUUPK ke depan. Kalau ada statement itu, hakim atau penegak hukum tidak ragu-ragu menjatuhkan sanksi karena ada asasnya,” kata Tri.

 

Baca:

 

Penguatan Kelembagaan

Selain mengenai substansi revisi UUPK, Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN menilai salah satu isu krusial dalam revisi UUPK terkait dengan aspek kelembagaan. Anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Husna Gustiana Zahir mengatakan, bahwa Strategi Nasional Perlindungan Konsumen dan RPJMN memandatkan pemerintah untuk memperkuat lembaga-lembaga perlindungan konsumen seperti BPKN. Bahkan, tak cuma BPKN, termasuk badan perlindungan konsumen lain seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

 

“BPKN mengkaji dari draf yang ada. beberapa catatan di antaranya yang perlu digarisbawahi adalah kelembagaan,” kata Husna yang juga mantan Ketua YLKI tersebut.

 

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua BPKN Rolas B. Sitinjak. Ia mengatakan, solusi perlindungan konsumen yang tepat adalah keseriusan pemerintah untuk memperkuat BPKN baik dari sisi kemandirian lembaga, anggaran, dan juga kewenangannya. Tanpa dukungan tersebut, Rolas menilai upaya pemerintah melindungi konsumen hanya di atas kertas belaka. Apalagi, dalam praktiknya banyak sekali produk rekomendasi BPKN kepada kementerian dan lembaga terkait tidak diindahkan.

 

“Tahun 2015 BPKN memberikan rekomendasi kepada Kementerian Agama terkait travel yang malpraktik, Kementerian tidak menanggapi dengan serius. Setelah ada kasus nasional mengenai travel umrah, semua pelaku kebijakan seakan kebakaran jenggot padahal jauh sebelum itu, BPKN sudah berteriak dengan lantang agar pemerintah melakukan antisipasi,” kata Rolas di tempat yang sama.

 

Sementara itu, Ketua BPKN Ardiansyah Parman berharap agar revisi UUPK menghasilkan peraturan yang lebih baik dan efektif dalam memberikan perlindungan konsumen dibanding dengan UUPK yang berlaku saat ini. Ardiansyah mengusulkan setidaknya revisi tersebut mengarah pada empat manfaat. Pertama, visi yang kuat. Revisi UUPK harus bervisi perlindungan konsumen yang kuat serta berorientasi manfaat kepada konsumen. Kedua, bernafas politik hukum perlindungan konsumen. Sebagai produk politik, revisi UUPK haru memiliki keberpihakan dan jangkauan luas bagi perlindungan konsumen.

Tags:

Berita Terkait