Deddy Kusdinar Dituntut 9 Tahun Penjara
Berita

Deddy Kusdinar Dituntut 9 Tahun Penjara

Majelis diminta menggunakan hati nurani.

NOV
Bacaan 2 Menit
Deddy Kusdinar menyimak pembacaan tuntutan oleh tim JPU pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta (18/02). Foto: RES
Deddy Kusdinar menyimak pembacaan tuntutan oleh tim JPU pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta (18/02). Foto: RES
Penuntut umum KPK, I Kadek Wiradana meminta majelis hakim menghukum mantan Kepala Biro Perencanaan (Kabiro) Perencanaan Kemenpora Deddy Kusdinar dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda Rp300 juta subsidair enam bulan kurungan. Selain itu, Deddy juga dituntut membayar uang pengganti Rp300 juta.

“Apabila terdakwa tidak membayar pidana tambahan uang pengganti Rp300 juta selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama satu tahun,” kata Kadek saat membacakan surat tuntutan Deddy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/2).

Ia menyatakan, berdasarkan fakta dan alat bukti di persidangan, perbuatan Deddy telah memenuhi semua unsur dalam dakwaan kedua, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Deddy dinilai telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp463,668 miliar.

Selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Deddy dianggap telah mengatur perencanaan, lelang, hingga pelaksanaan proyek pengadaan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor tahun anggaran 2010-2011 agar pengadaan dimenangkan perusahaan-perusahaan yang dikehendakinya.

Kadek menguraikan, peristiwa ini berawal ketika Deddy mengetahui adanya usulan penggunaan anggaran Rp125 miliar P3SON. Dalam mempersiapkan pembangunan P3SON, Sesmenpora Wafid Muharam menunjuk Deddy sebagai koordinator tim yang beranggotakan Tommy Apriantono (Dosen ITB) dan Lisa Lukitawati Isa (CV Rifa Medika).

Mereka membuat desain dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek P3SON. Setelah dilakukan analisa, Sonny menemukan beberapa permasalahan, seperti tanah tidak terdaftar di peta lahan Badan Pertanahan Nasional (BPN), kondisi tanah labil, dan ada sejumlah bangunan yang tidak mungkin dihapuskan karena sudah menjadi aset negara.

Deddy lalu melakukan pertemuan dengan Wafid, Lisa Lukitawati Isa, Paul Nelwan, Wiyanto alias Win Soehardjo, Sonny, Asep, Komisaris PT Metaphora Solusi Global (MSG) Muhammad Arifin dan Ida Bagus Wirahadi dari PT Adhi Karya (AK). PT MSG memaparkan desain proyek P3SON yang tidak sesuai dengan kondisi tanah Hambalang.

Namun, menurut Kadek, Wafid tetap memaparkan desain tersebut kepada Menpora Andi Alfian Mallarangeng. Wafid meminta Sonny membuat RAB senilai Rp2,5 triliun dengan rencana pembangunan yang akan dilakukan secara multiyears. Merasa proyek Hambalang “bau”, Sonny dan Ida Nuraida dari PT Biro Insinyur Eksakta (BIE) mundur.

Wafid akhirnya memutuskan memakai master plan PT MSG. Berdasarkan desain PT MSG, diperoleh angka Rp2,5 triliun untuk proyek P3SON Hambalang. Fisik bangunan, termasuk biaya konsultasi perencana, manajemen konstruksi, dan pengelola teknis diprediksi menghabiskan Rp1,175 triliun, sedangkan biaya peralatan Rp1,4 triliun.

“Terdakwa selanjutnya meminta Asep menyampaikan hasil penghitungan RAB kepada Staf Marketing PT AK Ida Bagus Wirahadi. Terdakwa juga meminta Lisa dan Rio Wilarso melakukan korespondensi email dengan PT AK, PT MSG, PT Yodya Karya (YK), dan PT Ciriajasa Cipta Mandiri (CCM) selama proses persiapan lelang,” ujarnya.

Kadek melanjutkan, demi menyelesaikan status tanah Hambalang, Wafid meminta M Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang membantu pengurusan di BPN. Anas yang ketika menjadi Ketua Fraksi Demokrat di DPR memerintahkan anggota Komisi II DPR Ignatius Mulyono mengurus hak pakai tanah untuk pembangunan P3SON Hambalang.

Ignatius berhasil mengurus hak pakai atas tanah Hambalang. Kemudian, fotocopy SK Kepala BPN No.1/HP/BPN/2010 tanggal 6 Januari diserahkan Anas kepada Nazaruddin. Kadek mengungkapkan, dalam pengurusan tanah tersebut, Nazaruddin dan Rosa telah menyerahkan uang Rp3 miliar kepada Kepala BPN Joyo Winoto.

Setelah mendapat SK Kepala BPN, Andi dan Wafid bertemu sejumlah anggota Fraksi Demokrat dari Komisi X DPR dan Banggar, yakni Mahyuddin, Angelina Sondakh, Mirwan Amir, dan Nazaruddin untuk membahas program-program Kemenpora. Mereka kembali bertemu di restoran Jepang, Gedung Arcadia Plaza Senayan.

Selanjutnya, sekitar Januari 2010, Kemenpora mengajukan usulan penambahan anggaran P3SON Hambalang sebesar Rp625 miliar dalam APBN-P 2010. Tanpa melalui proses dengar pendapat, Mahyuddin selaku pimpinan Komisi X DPR dan Tim Pokja menandatangani persetujuan penambahan anggaran Hambalang Rp150 miliar.

Dengan disetujuinya penambahan, jumlah anggaran untuk pembangunan P3SON Hambalang menjadi Rp275 miliar. Kadek menyatakan, Wafid melalui Paul Nelwan meminta uang Rp500 juta kepada PT AK dan Rp100 juta dari Poniran untuk diserahkan kepada Mahyuddin saat Kongres Partai Demokrat di Bandung.

Setelah APBN-P Kemenpora tahun anggaran 2010 disahkan, Deddy mengajukan agar proyek Hambalang dilaksanakan dengan kontrak tahun jamak (multiyears). Permohonan itu diajukan berdasarkan surat Wafid atas sepersetujuan Andi. Deddy juga melampirkan RAB Rp2,5 triliun dalam permohonan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Namun, Dirjen Anggaran, Kemenkeu Anny Ratnawati meminta Sesmenpora melengkapi permohonan multiyears dengan pendapat teknis dari Menteri Pekerjaan Umum (PU). Untuk memenuhi persyaratan, Deddy memerintahkan Arifin menggunakan uang Rp135 juta pemberian PT AK untuk diberikan kepada sejumlah pejabat di Kemen PU.

Kadek menjelaskan, pada tahap pengurusan izin kontrak multiyears di Kemenkeu, Deddy mengetahui adanya bantuan pihak lain yang mengaku telah membantu dalam proses terbitnya izin kontrak multiyears proyek P3SON, antara lain Widodo dan Bu Pur. Oleh karena itu, mereka menerima sejumlah uang dari PT AK atas jasa mereka.

Alhasil, pendapat teknis dari Kemen PU berhasil didapat Deddy. Anggaran Rp1,75 triliun pun disetujui Kemenkeu dan ditetapkan dalam APBN tahun anggaran 2011-2012. Deddy telah menentukan PT YK, PT CCM, dan PT AK sebagai pemenang lelang konsultan perencana, konsultan manajemen konstruksi, dan pelaksana jasa konstruksi Hambalang.

Kadek mengungkapkan, Deddy meminta Teuku Bagus Mokhamad Noor dari PT AK selaku calon pemenang lelang jasa konstruksi proyek pembangunan P3SON memberikan fee 18 persen sebagaimana diminta Choel Mallarangeng, adik Andi. Teuku Bagus menyepakati, dan realisasi fee 18 persen akan diberikan melalui Machfud Suroso.

Deddy melalui surat PPK mengusulkan KSO Adhi-Wika sebagai calon pemenang pembangunan P3SON Hambalang. Surat itu diteruskan kepada KPA Wafid dan dilaporkan kepada Andi. Deddy lalu menandatangani kontrak senilai Rp1,077 triliun dan Rp246,238 miliar.dengan Teuku Bagus selaku Lead Firm KSO Adhi-Wika pada 10 Desember 2010.

“Akan tetapi, Teuku Bagus malah mengalihkan pekerjaan jasa konstruksi Hambalang kepada PT Dutasari Citra Laras, PT Global Daya Manunggal, PT Aria Lingga Perkasa, dan 36 perusahaan lainnya. Hal ini bertentangan dengan Pasal 32 Keppres No.80 Tahun 2003 dan Pasal 9 ayat (3) huruf f Pepres No.8 Tahun 2006,” tutur Kadek.

Ia menganggap, perbuatan Deddy telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi, seperti PT YK, PT MSG, PT CMM, KSO Adhi-Wika, PT Dutasari Citra Laras, PT Global Daya Manunggal (GDM), PT Aria Lingga Perkasa, serta perusahaan-perusahaan atau perorangan yang menjadi subkontraktor dalam proyek Hambalang.

Perbuatan Deddy juga telah menguntungkan orang lain, yaitu Andi melalui Choel, Wafid, Anas, Mahyuddin, Teuku Bagus, Machfud Suroso, Olly Dondokambey, Lisa Lukitawati Isa, dan Anggraeni Dewi. Selain itu, Deddy juga mengetahui jika sejumlah uang yang diterima Kemenpora dari rekanan digunakan untuk kepentingan operasional Kemenpora.

Sementara, menurut Kadek, Deddy hanya menikmati uang Rp300 juta. Uang Rp1 miliar yang diberikan PT AK kepada Deddy digunakan Arifin untuk membayar ganti rugi yang diminta para penggarap tanah di lokasi proyek Hambalang. Uang Rp100 juta yang diperoleh dari Lisa digunakan untuk membayar retribusi IMB proyek Hambalang.

“Mengenai penerimaan Rp250 juta dari PT GDM, meski terdakwa mengaku uang pinjaman sudah dikembalikan, tapi pengembalian tidak pernah tercatat dalam pembukuan PT GDM. Sama halnya dengan penerimaan Rp40 juta dari Lisa dan Rp10 juta dari PT CCM. Penggunaan uang-uang ini sepenuhnya tanggung jawab terdakwa,” terangnya.

‘Pemain besar’
Menanggapi tuntutan, Deddy dan pengacaranya akan mengajukan nota pembelaan (pledoi). Usai sidang, pengacara Deddy, Samsul Huda mengatakan kliennya syok dengan tuntutan sembilan tahun penjara. Meski mengapresiasi penggunaan Pasal 3 UU Tipikor, Samsul menilai penuntut umum banyak melupakan fakta persidangan.

“Kami kaget dengan tuntutan sembilan tahun penjara, karena fakta-fakta, misalnya di dakwaan tentang uang pengganti, semuanya sudah terbukti bahwa tidak ada unsur memperkaya diri sendiri yang cukup signifikan. Seharusnya itu menjadi catatan penuntut umum untuk tidak menuntut sebesar itu,” katanya.

Namun, Samsul menyerahkan keputusan kepada majelis hakim. Ia berharap majelis bisa menggunakan hati nurani dalam memutus perkara kliennya. Ia menganggap peran Deddy dalam kasus Hambalang tidak cukup besar. “Kita tahu ada pemain-pemain besar besar di situ yang sudah merancang proyek ini tanpa ada daya dari klien kami,” imbuhnya.

Samsul menegaskan, dalam pledoi nanti pihaknya akan mengungkap siapa pemain-pemain besar tersebut. Ia menyebut Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Machfud Suroso, Choel Mallarangeng, dan bahkan Cikeas. Ketika ditanya siapa pemain dari Cikeas, Samsul menjawab sudah terungkap jika yang dimaksud Cikeas adalah Bu Pur.
Tags:

Berita Terkait