Dituntut 15 Tahun, Anas Menilai Ada Kekerasan Hukum
Utama

Dituntut 15 Tahun, Anas Menilai Ada Kekerasan Hukum

Anas menganggap itu bukan tuntutan, tapi ekspresi kebencian, kemarahan dan kekerasan hukum.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum saat menghadiri sidang pembacaan tuntutan terhadap dirinya dalam kasus Hambalang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (11/9). Foto: RES.
Mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum saat menghadiri sidang pembacaan tuntutan terhadap dirinya dalam kasus Hambalang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (11/9). Foto: RES.
Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Kristiana meminta majelis hakim menghukum mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp500 juta subsidair lima bulan kurungan. Ia juga meminta majelis menghukum Anas membayar uang pengganti Rp94,180 miliar dan AS$5,261 juta.

“Apabila tidak dibayar satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutup uang pengganti. Jika harta bendanya tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama empat tahun,” katanya saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (11/9).

Selain uang pengganti, Yudi meminta majelis menghukum Anas dengan pidana tambahan lain berupa pencabutan hak untuk dipilih. Ia menganggap Anas terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan kesatu primair, Pasal 12 ayat (1) huruf a jo Pasal 18 UU Tipikor Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Kemudian, Anas dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta dakwaan ketiga, Pasal 3 ayat (1) UU No.15 Tahun 2002 tentang TPPU jo UU No.25 Tahun 2003.

Namun, sebelum menjatuhkan tuntutan, Yudi terlebih dahulu mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan Anas. Salah satu hal memberatkan adalah Anas kerap membuat pernyataan dan melakukan tindakan yang menjurus pada tindakan yang dikualifikasikan sebagai obstruction of justice.

Dalam pertimbangannya, Yudi menyatakan, sekitar tahun 2005, Anas ke luar dari anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan selanjutnya berkeinginan tampil menjadi Presiden RI. Anas memerlukan kendaraan politik dan biaya yang sangat besar. Sebagai tahap awal, Anas menjadi Ketua DPP Bidang Politik sebelum menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Fakta hukum ini didukung oleh keterangan saksi Muhammad Nazaruddin yang berkesesuaian dengan saksi-saksi lain, seperti Bertha Herawati, Ruhut Poltak Sitompul, dan Neneng Sri Wahyuni. Selain itu, didukung pula alat bukti petunjuk berupa SMS yang masuk ke handphone Blackberry milik istri Anas, Attiyah Laila.

Isi BBM itu pada intinya menerangkan Anas berkeinginan untuk menjadi calon Presiden 2014, sehingga perlu mempersiapkan logistik dengan membentuk kantong-kantong dana. Fakta tersebut didukung keterangan Bertha yang mengaku Anas pernah memintanya mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PDRI.

“Sesuai keterangan Bertha, Anas pernah mengatakan, ‘Saya membutuhkan orang yang masih energik untuk mendukung saya sebagai Capres (calon presiden) di tahun 2014’. Maksud dan tujuannya agar Bertha dapat merebut suara perempuan-perempuan di Indonesia agar mendukung saudara Anas,” ujar Yudi.

Sebagai persiapan, Nazaruddin mengakuisisi “Hotline Advertising” seharga Rp52 miliar. Sebagian staf Permai Group, termasuk Yulianis sudah mulai berkantor di Hotline Advertising. Di samping itu, sudah dilakukan pembicaraan audit utang di SCTV, RCTI, dan MNC, serta pembicaraan mengenai perbaikan penampilan Anas.

SMS dukungan mulai berdatangan ke handphone Attiyah. Sekalipun Anas menyangkal, menurut Yudi, fakta-fakta itu menujukan adanya keseriusan Anas untuk mencalonkan diri sebagai Presiden 2014. Untuk menghimpun dana, Anas dan Nazaruddin bergabung dengan Anugerah Group yang berubah nama menjadi Permai Group.

Anas juga sempat membeli saham PT Anugerah Nusantara milik Nazaruddin sebanyak 30 persen. Kepemilikan saham ini, lanjut Yudi, dapat dibuktikan dengan akta otentik jual beli saham tertanggal 1 Maret 2007 antara Nazaruddin dan Anas. Keduanya membubuhkan tanda tangan dan cap jempol di dalam akta tersebut.

Walau Anas sempat meragukan keaslian akta, penuntut umum telah melakukan pemeriksaan ke Pusat Inafis Bareskrim Mabes Polri dengan melakukan pengambilan sampel sidik jari Anas pada 3 September 2014. Dari hasil perbandingan diketahui bahwa sidik jari dalam akta identik dengan sidik jari jempol kiri Anas.

Selain itu, sesuai keterangan Yulianis dan Oktarina Furi, Anas mendapatkan gaji dari PT Anugerah Nusantara pada November-Desember 2008 dan Januari-April 2009. Anas juga pernah menjadi Komisaris di anak perusahaan Permai Group, PT Panahatan. Di lain pihak, Attiyah sempat bergabung di PT Dutasari Citra Laras (DCL) sebagai Komisaris.  

Dengan demikian, penuntut umum menganggap keterangan Anas yang mengaku tidak pernah mendapat gaji dari PT Anugerah, melainkan honor sebagai konsultan politik pribadi Nazaruddin sudah sepatutnya dikesampingkan. Anas dan Nazaruddin juga terbukti mengendalikan Permai Group meski secara formal sudah ke luar dari Permai Group.

Yudi mengungkapkan, Permai Group digunakan Anas dan Nazaruddin untuk mendapatkan proyek-proyek dari pemerintah yang dibiayai dari APBN. Hal itu dilakukan dengan cara mengerjakan sendiri proyek-proyek pemerintah, maupuan mencatut fee 18-20 persen dari biaya proyek-proyek yang dikerjakan perusahaan lain.

Beberapa proyek dimaksud adalah proyek di Kemendiknas dan Kemenpora yang dikelola oleh Mindo Rosalina Manulang dan Angelina Sondakh, proyek pemerintah di bidang konstruksi dan BUMN yang dikelola Munadi Herlambang, serta proyek Hambalang, Gedung Pajak, dan Kementerian Agama yang dikelola Machfud Suroso.

Dari proyek-proyek tersebut, ada sebagian yang dipergunakan untuk pembelian mobil Toyota Harrier Anas. Yudi menyebut uang muka pembelian Harrier berasal dari proyek Hambalang, sedangkan biaya pelunasan mobil itu bersumber dari proyek Unair yang juga merupakan proyek yang dibiayai oleh APBN/APBD.

Selanjutnya, uang yang bersumber dari proyek-proyek itu ada pula yang dipergunakan untuk membiayai pemenangan Anas sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat, membiayai iklan politik Anas,  pembelian Blackberry, penginapan, dan uang saku bagi para pendukung Anas di Kongres Partai Demokrat di Bandung.

“Terdakwa juga menerima fasilitas survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai Rp478,632 juta dengan kompensasi LSI akan mendapatkan pekerjaan survei untuk pemilihan Bupati/Walikota dari calon Partai Demokrat, serta menerima fasilitas pinjaman mobil Toyota Vellfire senilai Rp735 juta dari PT Atrindo Internasional,” tutur Yudi.

Dengan demikian, Anas dinilai terbukti menerima Rp116,525 miliar dan AS$5,261 juta dari proyek-proyek yang dibiayai APBN, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, apabila dikurangkan dengan harta kekayaan yang akan dirampas, Anas hanya tinggal membayar uang pengganti sejumlah RpRp94,180 miliar dan AS$5,261 juta.

Apalagi, ada sebagian uang yang dipergunakan Anas untuk pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Arina Kota Jaya di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Ada pula yang dipergunakan untuk membeli sejumlah aset, seperti rumah di Jl Teluk Semangka Blok C 9 No.1 dan Jl Selat Makassar Perkav AL Blok C 9, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Ada pula sebagian lagi yang dipergunakan untuk pembelian tanah di Mantrijeron, Yogyakarta yang diatasnamakan mertua Anas, Attabik Ali, serta untuk pembelian tanah di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta yang kemudian diatasnamakan kakak ipar Anas, Dina Zad.

Pemaksaan hukum
Anas dan pengacaranya akan mengajukan pledoi. Anas menganggap tuntutan jaksa sangat lengkap, kecuali obyektifitas, keadilan, dan fakta-fakta yang berimbang. “Penting bagi kami menyampaikan pembelaan agar persidangan betul-betul berdasarkan fakta yang objektif. Tidak ada kekerasan dan pemaksaan hukum terhadap warga negara,” katanya.

Ia melanjutkan, apabila dicermati, surat tuntutan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Padahal, jika mengacu keterangan sejumlah saksi, semua uraian dalam dakwaan sudah terbantahkan. Entah mengapa, penuntut umum justru mengulang apa yang sudah terbantahkan itu di dalam surat tuntutan.

Oleh karena itu, Anas mempertanyakan, apakah tuntutan yang tidak berdasarkan fakta persidangan adalah tuntutan yang adil atau zalim? Seharusnya penuntut umum mampu bersikap objektif, adil, dan mendasarkan pada fakta-fakta persidangan, sehingga proses hukum menjadi suatu proses untuk mencari keadilan dan kebenaran.

Menurut Anas, persidangan seolah tak lebih dari seremonial. Pasalnya, sebelum pembacaan surat dakwaan, Juru Bicara KPK pernah menyampaikan Anas akan dituntut berat. Tuntutan ini mengkonfirmasi apa yang pernah diucapkan Juru Bicara KPK. Terlebih lagi, bila melihat uang pengganti RpRp94,180 miliar dan AS$5,261 juta.

Anas menilai tuntutan uang pengganti tidak rasional karena tuduhan penerimaan uang sudah terpatahkan dengan keterangan para saksi. Ia menjelaskan, angka-angka itu hanya bersumber dari keterangan tunggal Nazaruddin. “Ini menurut saya bukan tuntutan, tapi ekspresi kebencian, kemarahan dan kekerasan hukum,” ujarnya.

Kendati demikian, ia masih berharap majelis hakim dapat menilai dan memutuskan secara adil. Tuntutan ini baru versi penuntut umum. “Tapi, saya harus katakan versi penuntut umum tidak benar. Seminggu lagi ada waktu untuk pembelaan, baik pribadi maupun teknis hukum dari penasihat hukum,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait