DPKTb Sarana Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara
Sengketa Pilpres 2014:

DPKTb Sarana Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara

Pemutakhiran data harus terus dilakukan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
DPKTb Sarana Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara
Hukumonline
Dalam sidang penyelesaian perselisihan hasil pemilu (PHPU) presiden dan wakil presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi, DPKTb menjadi salah satu perdebatan. DPKTb dianggap menjadi sumber masalah pembengkakan jumlah pemilih di suatu Tempat Pemungutan Suara atau di Daerah Pemilihan tertentu. Apa sebenarnya DPKTb? Ia adalah singkatan dari Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).

Pemantau pemilu dan akademisi tak satu pandangan mengenai keabsahan DPKTb. Margarito Kamis, akademisi hukum tata negara, meragukan keabsahan DPKTb karena tak diatur dalam Undang-Undang mengenai pelaksanaan pemilihan umum, misalnya UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pandangan itu, ia sampaikan saat tampil sebagai ahli di sidang Mahkamah Konstitusi pekan lalu. “Tidak diatur dalam Undang-Undang,” tegasnya.

Mantan hakim konstitusi, Harjono, dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, berpendapat DPKTb harus diadakan untuk menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara. Jika seseorang tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ia boleh menggunakan kartu tanda penduduk atau paspor untuk menggunakan hak pilihnya. Saldi mengatakan tidak ada alas an bagi penyelenggara pemilu untuk membatasi hak warga negara. Harjono mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009 sudah mengakomodasi DPKTb.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, berpendapat putusan MK tersebut menegaskan hak konstitusional warga negara tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun untuk menggunakan hak pilihnya. Karena itu, kata Titi, pemilih yang menggunakan mekanisme DPKTb tidak boleh dianggap melakukan kecurangan dalam Pemilu. Yang penting, pemilih sudah memenuhi persyaratan sebagai pemilih dan tidak mencoblos lebih dari satu kali. Jika pemilih yang menggunakan DPKTb dianggap melakukan kecurangan maka perspektif tersebut dapat dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Walau begitu Titi sepakat ada prosedur administrasi yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan Pemilu meskipun prosedur itu jangan sampai menghilangkan hak konstitusional warga negara. Kuncinya adalah pemutakhiran data pemilih yang terys menerus dilakukan.

Peneliti Hukum Perludem, Fadli Ramadhani, melihat pihak pemohon PHPU yang mempersoalkan DPKTb tak cukup baik menjelaskan dan mengungkapkan bukti pelanggaran penggunaan DPKTb. Meskipun demikian, Fadli sepakat harus ada evaluasi terhadap DPKTb dalam rangka memenuhi hak konstitusional pemilih. Sebab dalam Pilpres hanya ada satu daerah pemilihan. Sehingga, harus dievaluasi apakah pemilih DPKTb harus menggunakan hak pilihnya di TPS yang sesuai dengan alamat yang tertera dikartu identitas mereka atau tidak.

Deputi Direktur Perludem, Ferry Junaidi, menilai dalam persidangan MK tidak menggali lebih dalam isu DPKTb. Padahal itu diperlukan untuk diketahui berapa jumlah pemilih DPKTb yang menggunakan KTP, paspor atau surat keterangan domisili. Dengan begitu maka dapat dilihat bagian mana yang dipersoalkan.

“Selain itu perlu juga digali soal dugaan pemilih ganda dan fiktif. Itu berguna untuk mengklarifikasi apakah dugaan pelanggaran DPKTb itu terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif atau tidak untuk pemenangan salah satu pasangan calon,” urai Ferry.

Ferry menilai secara administratif, pemilih DPKTb harus mencoblos di TPS yang sesuai dengan alamat yang tercantum di kartu identitas. Tapi, hal itu tidak menjadi soal selama pemilih menggunakan hak pilihnya itu secara riil dan tidak mencoblos lebih dari satu kali. Sebab, pemilih yang terdaftar dalam DPT ataupun DPKTb punya hak konstitusional yang sama.

Bagi Ferry, dalil DPKTb sebagaimana diajukan pemohon bisa berdampak kuat jika yang disengketakan adalah pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Sebab Pilkada hanya diselenggarakan di daerah tertentu. Sedangkan Pilpres berlangsung secara nasional, sehingga tidak ada masalah bagi warga negara Indonesia yang berada di daerah manapun untuk menggunakan hak pilihnya.

Misalnya, seorang warga Merauke, Papua sedang kuliah di Jakarta. Jika sudah memenuhi syarat sebagai pemilih, warga Merauke dapat menggunakan hak pilihnya di Jakarta. “Itu harus dipandang sebagai penyelematan hak konstitusional warga Negara,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait