Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor
Berita

Dua Ahli Hukum Ini Bongkar Kelemahan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Kesalahan administrasi tidak serta-merta mengandung unsur perbuatan melawan hukum tipikor.

ASH
Bacaan 2 Menit






UU No. 7 Tahun 2006





Kerancuan
“atau orang lain atau suatu korporasi”



investigation audit



kuasa hukum, Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun mempersoalkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Mereka meminta MK menghapus kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Keduanya pasal itu dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Pemohon menilai pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi Para Pemohon yang berstatus sebagai terdakwa/terpidana korupsi. Praktiknya, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman delik korupsi.

Menurut pemohon, pemahaman ini disebabkan implikasi Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang telah mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil, sehingga pemaknaan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian” tidak harus nyata. Faktanya tak jarang, unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah penetapan tersangka korupsi.

Para pemohon menganggap sejak UU Adminitrasi Pemerintahan  terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens it rea), bukan karena jabatannya. Ini setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu.
Tags:

Berita Terkait