Hakim Mediator Tugas Mulia yang Terbatas
Kolom

Hakim Mediator Tugas Mulia yang Terbatas

Mulai dari pelaksanaan mediasi oleh Hakim Mediator hanya di gedung pengadilan hingga tidak dapat menarik pihak lain yang berkepentingan dalam mediasi.

Bacaan 6 Menit
Bagus Sujatmiko. Foto: Istimewa
Bagus Sujatmiko. Foto: Istimewa

“Menang jadi arang, kalah jadi debu”, sebagai masyarakat timur sering sekali kita mendengar pribahasa ini. Seolah ingin menyampaikan pesan tidak ada gunanya bertengkar, menang atau kalah sama-sama akan menderita kerugian. Sama halnya seperti berperkara di pengadilan, akan ada pihak yang menang dan kalah, keduanya membutuhkan upaya yang tidak sedikit baik tenaga, waktu dan biaya. Bahkan tidak jarang para pihak berperkara masih memiliki hubungan keluarga, sehingga hubungan silahturahmi juga sering dikorbankan.

Berjalan dari latar belakang tersebut Pasal 130 HIR/154 Rbg mewajibkan pengadilan untuk mendamaikan para pihak sebelum memeriksa perkara dengan prosedur peradilan. Harapannya pengadilan dapat mendamaikan para pihak sehingga penyelesaian sengketa dapat menguntung para pihak (win win solution). Tugas mendamaikan ini diberikan kepada seorang mediator, yang menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma 1/2016), dapat dilakukan oleh seorang Hakim Mediator yakni hakim yang sudah mendapat pelatihan khusus mengenai tata cara dan keterampilan mendamaikan pihak dengan cara mediasi, singkatnya hakim yang sudah memiliki sertifikat mediator.

Tugas seorang Hakim Mediator tidak kalah mulia dengan tugas Hakim pada persidangan. Justru Hakim Mediator memiliki peran yang sangat penting untuk melihat iktikad baik para pihak berperkara, apakah di dalam lubuk hati mereka yang terdalam, terdapat niat baik untuk tidak menyakiti kepentingan satu sama lain. Ketika melihat hal ini Hakim Mediator akan berusaha menemukan jalan terbaik bagi para pihak agar dua kepentingan tersebut dapat bertemu di satu jalan yang sama, sehingga tidak ada kepentingan pihak yang dilupakan atau dirugikan.

Pendekatan ini tentu sangat berbeda jika perkara dibawa ke persidangan. Hakim bertugas menemukan pihak yang memiliki alat bukti terkuat yang akan menang. Oleh sebab itu menurut Christopher W. Moore mediasi dikenal sebagai bentuk penyelesaian sengketa yang fleksibel karena diserahkan kepada kesepakatan para pihak sehingga semua pihak adalah pemenang dalam mediasi. Sayangnya terdapat beberapa ketentuan Perma 1/2016 yang membatasi tugas seorang Hakim Mediator, yang pada akhirnya menurut Penulis ketentuan ini dapat menghambat Hakim Mediator dalam mengupayakan perdamaian para pihak. Dalam tulisan ini Penulis mencoba menjelaskan beberapa ketentuan tersebut dengan harapan perubahan yang lebih baik di masa mendatang.

Baca juga:

Kewajiban Hakim Mediator Melaksanakan Mediasi di Gedung Pengadilan

Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Perma 1/2016, menjelaskan bahwa mediasi yang dilakukan oleh Hakim Mediator wajib dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan. Hal ini menegaskan bahwa ada larangan bagi Hakim Mediator untuk melaksanakan proses mediasi di luar gedung pengadilan tempat ia bekerja. Ketentuan ini pada praktiknya menimbulkan sejumlah hambatan dalam mengupayakan perdamaian. Contoh yang paling dekat adalah ketika salah satu pihak karena keadaan tertentu seperti karena kondisi kesehatan ia memerlukan alat bantu medis yang tidak mungkin dibawa ke pengadilan. Namun ia memiliki iktikad baik untuk terlibat langsung dalam mediasi sehingga secara pribadi dia meminta kepada Hakim Mediator agar melaksanakan mediasi di kediamannya dan hal ini-pun disepakati oleh pihak lainnya.

Contoh lain kebutuhan mediasi di luar pengadilan dapat kita lihat dalam mediasi perkara menyangkut objek tanah. Ada kondisi di mana para pihak ingin berdamai setelah mereka mengetahui secara jelas letak batas tanahnya berdasarkan sertifikat tanah yang mereka miliki. Terkadang masyarakat awam tidak mengerti cara membaca sertifikat sehingga mereka membangun di tempat yang salah milik orang lain. Dalam kondisi seperti ini pendekatan yang dapat dilakukan adalah turun ke lapangan bersama pihak yang memiliki kemampuan membaca sertifikat (umumnya BPN).

Tags:

Berita Terkait