Hakim Minta Denny Indrayana dkk Perbaiki Permohonan
Berita

Hakim Minta Denny Indrayana dkk Perbaiki Permohonan

Para pemohon meminta MK membatalkan frasa “persetujuan DPR” dalam pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Sidang pengujian aturan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima Tentara Negara Indonesia (TNI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian ini diajukan Guru Besar UGM Denny Indrayana, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PuSako), Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Spesifik, mereka mempersoalkan Pasal 11 ayat (1-5) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 13 ayat (2), (5), (6), (7), (8), (9) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Intinya, para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas “persetujuan DPR” dalam proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh presiden dihubungkan polemik pengangkatan Kapolri yang berujung konflik Polri dan KPK.

Dalam persidangan perdana, majelis panel yang diketuai Anwar Usman mempertanyakan alasan kerugian konstitusional permohonan yang menyatakan hak prerogatif presiden “terpasung” oleh persetujuan DPR,  terutama saat Presiden Jokowi mengusulkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG).

Anggota panel Patrialis Akbar mempertanyakan letak terpasungnya hak prerogatif presiden saat mengusulkan pengangkatan BG sebagai calon Kapolri jika dikaitkan dengan pengangkatan calon Kapolri saat ini. “Apakah calon ini tidak diberikan persetujuan oleh DPR? Kan sudah diberikan. Lalu terpasungnya dimana? Kalau tidak diberikan persetujuan mungkin kualifikasi dikatakan terpasung bisa, tetapi justru kenyataannya persetujuan diberikan dalam waktu yang cepat,” kritik Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Karenanya, majelis meminta para pemohon menjelaskan alasan permohonan dengan lebih jelas dan komprehensif termasuk kedudukan hukum (legal standing) para pemohon. Sebab, dalam permohonan, hanya disebutkan para pemohon sebagai pembayar pajak yang hak konstitusionalnya dirugikan. Patrialis mengingatkan tidak semua pembayar pajak otomatis memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan.

MK memang pernah menyatakan para pemohon memiliki legal standing dalam perkara lain, namun bagi Patrialis, bukan jaminan pemohon otomatis punya legal standing dalam pengujian UU Polri dan UU TNI. “Ketika bicara pembayar pajak dikaitkan dengan pengujian UU ini, saya kira pemohon harus memberikan pemahaman komprehensif relasi pembayar pajak dengan UU ini,” ujar Patrialis mengingatkan.

Anwar Usman meminta pemohon mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan permohonan terutama terkait penerapan sistem presidensial. “Sistem presidensial ini mohon dielaborasi lebih lanjut. Bagaimana pelaksanaan dalam sistem pemerintahan. Apakah memang demikian maksudnya?”

Sebelumnya, kuasa hukum pemohon, Heru Widodo, menuturkan persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI dinilai memasung (melanggar) hak prerogatif presiden. Sebab, dalam sistem pemerintahan presidensial yang dijamin Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 seharusnya presiden berwenang penuh mengangkat dan memberhentikan Kapolri atau Panglima TNI tanpa melibatkan DPR.

Dia menerangkan dalam konteks kasus konkrit yang terjadi saat ini perihal pengangkatan calon Kapolri dengan status tersangka melalui persetujuan DPR justru membahayakan upaya pemberantasan korupsi. Untuk itu, solusi penyelesaian polemik pengangkatan calon Kapolri ini memberi kewenangan penuh kepada presiden untuk mengangkat Kapolri tanpa melibatkan DPR sekaligus meneguhkan sistem presidensial.

Heru menjelaskan sebagaimana termuat dalam risalah perubahan UUD 1945 hak preogratif presiden tidak melibatkan cabang kekuasaan lembaga lainnya. Kalaupun ada pembatasan hak prerogratif presiden dengan melibatkan lembaga lain, hal itu harus ditegaskan dalam UUD 1945, seperti dalam pengangkatan Duta Besar dengan pertimbangan DPR. “Jadi hanya bisa dilakukan apabila diatur dalam UUD 1945,” ujar Widodo dalam persidangan yang tanpa dihadiri Denny Indrayana.

Karenanya, para pemohon meminta MK membatalkan frasa “persetujuan DPR” dalam pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Nantinya, proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI tidak perlu lagi adanya persetujuan DPR.
Tags:

Berita Terkait