HUT Adhyaksa ke-56, Ini Penilaian Koalisi Pemantau Peradilan
Berita

HUT Adhyaksa ke-56, Ini Penilaian Koalisi Pemantau Peradilan

Meski dianggap sebagai lembaga yang mandiri dan memiliki peran sentral dalam penegakan hukum, nyatanya Kejaksaan tetap menghadapi berbagai permasalahan.

RED
Bacaan 2 Menit
Kejaksaan Agung RI. Foto: SGP/Hol
Kejaksaan Agung RI. Foto: SGP/Hol
Tabel 1
Komposisi Pemohon Kasasi
TahunPidana UmumTotalPidana KhususTotal
JPUTerdakwaJPU dan TerdakwaJPUTerdakwaJPU dan Terdakwa
20113602044360726814061469
20126553531231.131382170127679
201320015647403284178137599
Sub Total1.2157132132.1419344883251.747
%56,7 %33,3 %9,9 %-53,5 %27,9 %18,6 %-
 
Tabel 1 menunjukkan bahwa JPU adalah mayoritas Pemohon dalam kasasi pidana.
Tabel 2
Komposisi Amar Putusan Kasasi
TahunPidumPidsus
KabulTolakN.O.PutusanKabulTolakN.O.Putusan
201110835614360720437252628
20121827332311.14620143443678
2013602687440219938319601
 
Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas amar putusan kasasi pidana umum dan pidana khusus adalah tolak. Hal ini menunjukkan dalam banyak perkara, Majelis Hakim belum melihat argumentasi JPU dalam memori kasasi meyakinkan untuk dikabulkan.

Tabel 3
Alasan Kasasi JPU
TahunSampel
Putusan
Pemohon
JPU
Kasasi atas
Putusan Bebas
Kasasi atas
Putusan Lepas
SanksiLain-lainTidak Ada
Alasan*
20116073591489810256
20121.1326562281642113815
201340319977536252

Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan utama yang digunakan JPU dalam mengajukan kasasi, yaitu:a) Putusan judex factie memutus bebas;b) Putusan judex factie memutus lepas;c) Putusan judex factie memutus terdakwa terbukti bersalah tetapi hukuman yang dijatuhkan dipandang kurang sepadan, atau pengurangan hukuman yang dilakukan pengadilan Banding kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd).

Dio mengakui, memang terdapat alasan-alasan pengajuan kasasi lainseperti status barang bukti, tepat tidaknya dakwaan yang dianggap terbukti oleh judex factie,dan sebagainya, tetapi jumlahnya tidak signifikan.

Alasan kasasi karena berat ringannya hukuman (besaran hukuman judex factie), dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan Jaksa Agung pada tahun 1985. Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan yang berlaku bagi para Jaksa untuk mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi atas putusan-putusan judex factie yang hukumannya kurang dari 2/3 dari tuntutan, yaitu Surat Edaran Jaksa Agung  No. B-036/A/6/1985 tentang Petunjuk Untuk Penggunaan Upaya Hukum Banding dan Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Khusus.

Meskipun Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa soal berat ringannya hukuman bukanlah satu-satunya parameter bagi JPU untuk mengajukan kasasi, dalam praktik banyak JPU yang semata-mata menjadikan hukuman yang dijatuhkan judex factie sebagai alasan utama pengajuan kasasi. “Tidak mengherankan jika hasil pada Tabel 1 menunjukkan mayoritas pemohon dalam kasasi pidana adalah JPU,” ujar Dio.

Selain itu, sambung Dio, JPU juga hampir selalu memohon kasasi atas putusan bebas atau lepas dan hal ini diduga karena kebijakan Kejaksaan. Pada akhirnya, Kejaksaan seakan-akan tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk menyeleksi putusan-putusan mana yang layak untuk dikasasi.

Berkaitan dengan Korupsi, hal ini kaitannya dengan penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan. Tercatat masih ada beberapa kasus korupsi yang menarik perhatian publik seperti kasus Setya Novanto dan Riza Chalid yang hingga kini belum ada kejelasan. Selain itu,masih banyak tunggakan eksekusi terhadap perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, seperti kasus BLBI.

“Penyelesaian kasus-kasus korupsi ini tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi,” ujar Dio.

Selain soal penyelesaian perkara korupsi besar yang mandek, Kejaksaan juga perlu kembali memaksimalkan eksekusi terhadap putusan perkara korupsi, terutama soal pidana tambahan uang pengganti. Eksekusi tersebut penting untuk dilakukan guna memaksimalisasi pengembalian aset atau kerugian negara, namun hingga kini informasi terkait jumlah eksekusi perkara korupsi khususnya uang pengganti, masih belum terpublikasi secara jelas kepada publik.

Masih terkait pemberantasan korupsi, Kejaksaan juga diharapkan dapat menjadi tandem dan mitra KPK dan Kepolisian RI dalam penanganan perkara korupsi. Sudah saatnya pula Kejaksaan mulai serius menyasar perkara-perkara korupsi kelas kakap baik di tingkat nasional maupun daerah.

Berkaitan dengan pengawasan internal Kejaksaan dapat dilihat dari beberapa kasus korupsi yang diduga melibatkan aparatur Jaksa seperti 2 (dua) Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, penggelapan aset korupsi yang dilakukan oleh Jaksa senior di Kejaksaan Tinggi NTT, dan dugaan suap yang melibatkan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Asisten Tindak Pidana Khusus di Kejati DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan fungsi pengawasan internal yang masih kurang efektif.

Terakhir,berkaitan dengan kewenangan penanganan perkara, Kejaksaan perlu memaksimalkan perannya sebagai pengendali perkara. Hal ini merupakan sebagai bentuk kontrol terhadap perkara yang ditangani guna menghilangkan masalah berlarut-larutnya proses suatu perkara. Hal ini juga dapat berfungsi sebagai saran kontrol terhadap potensi-potensi terjadinya kriminalisasi tanpa alasan yang jelas oleh Kepolisian.      

Oleh karena itu, KPP merekomendasikan agar; Kejaksaan melakukan perubahan aturan-aturan terkait mutasi dan promosi yang berorientasikan pada hasil kinerja; Kejaksaan melakukan perubahan terkait sistem anggaran yang berbasiskan kinerja; Kejaksaan memiliki mekanisme yang efektif untuk menyeleksi putusan-putusan mana yang layak untuk dikasasi; Kejaksaan segera mengimplementasikan Reformasi Birokrasi sesuai dengan profil Kejaksaan 2025 yang sudah dicanangkan.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejaksaan) baru saja memperingati hari jadinya yang ke-56. Koalisi Pemantau Peradilan menilai perjalanan Korps Adhyaksa sejak awal terbentuk hingga saat ini tentu tidak dilalui dengan mudah. Tercatat sejak tahun 1960 Kejaksaan berubah menjadi lembaga yang mandiri menjalankan tugasnya.     

Meski dianggap sebagai lembaga yang mandiri dan memiliki peran sentral dalam penegakan hukum, nyatanya Kejaksaan tetap menghadapi berbagai permasalahan. Misalnya, kerap kali Kejaksaan sulit melaksanakan kewenangannya, karena rawan akan adanya intervensi kepentingan politik. Hal ini dapat dilihat dari sejarah pergantian Jaksa Agung dalam satu rezim Presiden yang dapat dilakukan berkali-kali.

“Sudjono C Atmonegoro, Jaksa Agung terakhir di era orde baru, hanya menjabat selama 3 bulan di masa kepemimpinan B.J. Habibie dengan dugaan berbeda pandangan dalam kasus mantan Presiden Soeharto,” kata salah satu wakil koalisi, yaitu Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI, Dio Ashar, dalam rilis yang diterima hukumonline, Senin (25/7).

Dalam rangka penguatan Kejaksaan, intervensi ini perlahan-lahan sudah mulai direduksi. Dalam UU No.16 Tahun 2004tentang Kejaksaan Republik Indonesia, keharusan Jaksa Agung untuk melaporkan kepada Presiden dalam hal penggunaan asas oportunitas dihilangkan. Selain itu,dibuat berbagai instrumen guna membenahi Kejaksaan, seperti Audit Tata Kepemerintahan Pada Kejaksaan RI (2001), Agenda Pembaruan Kejaksaan RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Kejaksaan RI (2005),  Program Reformasi Birokrasi (2008), dan Profil Kejaksaan RI 2025 (2009).

Menurut Dio, perbaikan-perbaikan terhadap Kejaksaan tentunya tidak cukup berhenti sampai disitu. Kejaksaan hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seperti soal reformasi birokrasi, anggaran, perkara korupsi di Kejaksaan, pengawasan, dan kewenangan penanganan perkara.

Dio mengatakan, reformasi birokrasi di Kejaksaan tidak terlepas dari masalah promosi-mutasi di Kejaksaan yang masih perlu diperbaiki kembali. Sebagai produk reformasi birokrasi Kejaksaan, Peraturan Jaksa Agung No.49 tahun 2011 tentang Pengembangan Karir Pegawai Kejaksaan masih memiliki celah yang memberikan diskresi kepada pimpinan untuk melakukan mutasi dan promosi secara subjektif. Misalnya, mutasi-promosi diatur harus berdasarkan “prestasi dan penilaian kinerja”. Peraturan Jaksa Agungtersebut juga mengamanatkan Jaksa Agung untuk membuat aturan mengenai penilaian kinerja.

“Akan tetapi, sudah 5 tahun peraturan tersebut berlaku belum ada peraturan Jaksa Agung tersebut sehingga acuan prestasi dan peniliaian kinerja menjadi kurang akuntabel,” kata Dio.

Terkait dengan anggaran, di tahun 2016 Kejaksaan hanya dianggarkan untuk menangani sebanyak 81.869 perkara. Padahal, di tahun sebelumnya, anggaran Kejaksaan dialokasikan lebih dari 120.000 perkara. Selain alokasi total anggaran  perkara, masalah lain juga muncul dari satuan anggaran perkaranya. Kejaksaan saat ini dialokasikan hanya sebesar Rp3juta-Rp6 juta tergantung wilayahnya. Anggaran berkisar Rp3jutadan Rp6 juta disamaratakan untuk seluruh wilayah Kejaksaan Negeri tanpa ada pembedaan jenis perkara.

Menurut Dio, masalah anggaran ini akan berpotensi berdampak pada kinerja Kejaksaan. Pertama, kualitas penegakan hukum menjadi tidak maksimal. Jaksa akan menekan biaya yang diperlukan dalam penanganan perkara sesuai dengan anggaran. Kedua, keterbatasan anggaran ini akan membuka potensi praktik korupsi. Ketiga, persoalan ini akan membuka potensi adanya kasus-kasus yang terbengkalai. Pada akhirnya, proses penegakan hukum menjadi terhambat.

Dalam hal penanganan perkara dan penilaian kinerja, terdapat satu isu menarik mengenai permohonan kasasi oleh JPU ke Mahkamah Agung. LeIP melakukan penelitian mengenai arus perkara pidana ke Mahkamah Agung dengan menggunakan sampel putusan kasasi pidana umum dan pidana khusus Mahkamah Agung dari tahun 2011-2013 dengan total 3.888 putusan. Dari kedua jenis perkara tersebut, dilihat pihak pemohon kasasi, amar putusan, alasan kasasi, dan lainnya (lihat Tabel 1-3 di bawah).
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait