Indonesia Tak Mengenal Repugnancy Review
Berita

Indonesia Tak Mengenal Repugnancy Review

Otoritas negara bisa mendasarkan putusan pada aturan-aturan agama.

Mys
Bacaan 2 Menit
Indonesia tidak mengenal Repugnancy Review. Foto: SGP
Indonesia tidak mengenal Repugnancy Review. Foto: SGP

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai aturan poligami memperlihatkan kekuatan otoritas agama. Dalam kasus pengujian Undang-Undang Perkawinan, ukuran yang dipakai untuk menilai keabsahan hukum negara adalah ketentuan agama. Putusan perkara ini memperlihatkan relasi hukum agama dengan hukum negara.

 

Dengan mengambil contoh putusan Mahkamah Konstitusi No 12/PUU-V/2007, Mark Cammack menegaskan bahwa konstitusi Indonesia tak mengenal konsep repugnancy review. Istilah ini dipakai untuk menunjuk syarat sahnya suatu undang-undang adalah kesesuaian aturan itu dengan hukum syariah. Jadi, jika suatu hukum negara bertentangan dengan syariah, maka hukum negara itu dapat dibatalkan.

 

Mark memberi contoh Mesir, negara dimana Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan suatu materi undang-undang jika bertentangan dengan hukum Islam. Konstitusi Indonesia, kata dosen Southwestern Law School itu, tak mengenal konsep repugnancy review. “Sudah tentu tidak ada jaminan repugnancy review di Undang-Undang Dasar Indonesia,” kata Mark saat memberikan kuliah umum di Jentera Law School, kawasan Kuningan Jakarta, Rabu (14/12).

 

Mark menyinggung repugnancy review ketika berbicara tentang relasi hukum agama dan hukum Islam dengan mengambil tiga contoh. Selain putusan Mahkamah Konstitusi tadi, ia membahas konsep perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan, dan praktik talak liar di Indonesia. Dari ketika konsep itu, Mark melihat ada kesalahan persepsi tentang hukum Islam ketika diterapkan oleh lembaga negara yang notabene adalah sekuler. Faktanya, negara-negara modern sekalipun mengatur hubungan antara negara dan agama dalam konstitusinya.

 

Dalam konteks Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi memperlihatkan bagaimana lembaga negara menggunakan sumber-sumber agama sebagai argumentasi untuk menolak permohonan pemohon judicial review. M Insa, pemohon judicial review itu, berpendapat ketentuan ketat poligami dalam UU Perkawinan melanggar UUD 1945.

 

Alih-alih membuat tafsir konstitusional atas Pasal 28 E UUD 1945, Mahkamah malah lebih banyak menekankan argumentasinya pada sumber-sumber hukum Islam. Sikap Mahkamah demikian lantaran pemohon juga mendalilkan argumentasinya berdasarkan hukum Islam. Diawali dengan narasi tentang praktik poligami zaman jahiliyah, Mahkamah berpendapat hukum Islam justru berkehendak menertibkan poligami secara gradual.

 

Tujuannya agar dalam pelaksanaan tidak terjadi kesewenang-wenangan pria sekaligus menjaga martabat perempuan. Mahkamah malah mengutip ayat-ayat al-Qur’an. Mahkamah tidak sependapat dengan argumentasi bahwa pembatasan atau syarat ketat poligami akan menyuburkan perzinahan dan pekerja seks komersial.

Halaman Selanjutnya:
Tags: