Munculnya permohonan judicial review Pasal 169 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu soal masa jabatan wakil presiden telah mengundang sederet reaksi dari para pengamat maupun akademisi lintas Perguruan Tinggi. Judicial review yang dimohonkan oleh Perindo dengan turut melibatkan Jusuf Kalla sebagai pihak terkait dikritik dari berbagai sisi, baik seputar legal standing pemohon yang bermasalah hingga anggapan salah alamat jika judicial review ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Peneliti PUSKAPSI FH Universitas Jember, Bayu Dwi anggono, menilai judicial review yang diajukan Perindo kepada MK adalah ‘salah alamat’. Menurutnya, ketentuan Pasal 169 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebetulnya hanya memindahkan ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Ada memang materi di UU yang mengulang materi di UUD, Bayu mencontohkan soal kewenangan MK yang diulang lagi di UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
“Sebetulnya Pasal 169 UU Pemilu ini bukan hal yang baru, karena substansinya adalah substansi UUD. Jadi harusnya MK tidak boleh lagi mengutak atik pasal ini,” tegas Bayu.
Bayu menjelaskan bahwa tidak semua batasan yang diatur dalam UUD itu adalah open legal policy, dan pasal 7 UUD 1945 itu termasuk bagian dari close legal policy. Artinya, kata Bayu, MK yang merupakan the guardian of the constitution (penjaga konstitusi) tidak sepatutnya membuka peluang penghapusan batasan yang tertuang secara jelas dalam Pasal 7 ini, karena sekali ini dibuka maka akan banyak instansi pemerintahan lain yang juga mengikuti langkah Jusuf Kalla.
Mengingat substansi konstitusi yang dikandung Pasal 169 ini, lanjut Bayu, maka jika ada keberatan seharusnya yang diuji Pasal 7 UUD dan itu tempatnya bukan di MK, melainkan MPR. Karena memang, kata Bayu, ini bukanlah persoalan konstitusionalitas UU melainkan adalah persoalan konstitusi, jadi adalah salah alamat jika judicial review ini dilakukan di MK.
“Jika ada yang mempermasalahkan, silakan jauh-jauh hari menggalang dukungan ke MPR, hadapi 689 anggota MPR, cari dukungan 1/3, kemudian harus sidang paripurna 2/3, dibatasi oleh ½ plus satu dari 2/3 yang hadir tersebut, yang dengan otomatis anda berhadapan dengan hampir 250 juta rakyat Indonesia,” tukas Bayu.
Bayu juga menyayangkan, seharusnya jika dikaitkan dengan sumpah jabatannya maka Presiden dan Wakil Presiden sudah sepatutnya ‘wajib’ memahami dan menjaga substansi UUD. Pasal 7 UUD, kata Bayu, jelas sudah tidak membuka ruang penafsiran lain, paling lama dua kali masa jabatan. Bahkan secara konteks sejarah, frasa menimbang dalam Tap MPR XIII 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terlahir karena pasal 7 sebelum perubahan dianggap tidak jelas dan multitafsir.