Junaidi, SH. LL.M: Pranata Hukum Kepailitan Kita Belum Siap
Terbaru

Junaidi, SH. LL.M: Pranata Hukum Kepailitan Kita Belum Siap

Krisis ekonomi global akan berimbas pada pranata hukum. Bermaksud mengantisipasi dampak krisis itu, Pemerintah Indonesia misalnya sudah menerbitkan dua Perppu.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Misalnya soal putusan verstek. Saya tanya seorang hakim, katanya MA tidak mengenal (putusan verstek). Tetapi saya tanya ke hakim niaga, katanya itu bukan putusan verstek, melainkan putusan tanpa kehadiran tergugat. Apa bedanya? Si hakim bilang itu beda. Di sini permainannya hanya kata-kata, dimana di pailit tidak dikenal verstek. Yang jelas yang membuat putusan verstek itu adalah MA sendiri. Syukur-syukur kalau tidak melakukan hal seperti itu lagi. Lebih syukur lagi kalau mereka membuat aturan yang mengatur lebih detil dan aturan main kepailitan. Saya lihat memang belum semuanya berada pada rel yang benar. Saya lihat putusan MA, banyak menggunakan argumen atau jurus pembuktian tidak sederhana. Mestinya ada alasan lain yang lebih rasional dan diterima akal.

 

Di tengah masalah itu, apakah Pengadilan Niaga menjanjikan secercah harapan, terutama untuk antisipasi krisis ke depan?

Saya lihat tetap ada. Pranata hukum harusnya masih menjadi harapan. Saya berharap dengan ada nya pendewasaan dari stakeholders, Pengadilan Niaga kelak akan menjadi pilihan terbaik buat para pihak terkait dalam menyelesaikan hak dan kewajibannya.  Saya tetap yakin bahwa penyelesaian lewat Pengadilan Niaga akan lebih cepat dari Pengadilan Negeri.

 

Bukankah dibanding pasca krisis 1998, ekspektasi orang terhadap Pengadilan Niaga mengalami penurunan? 

Kalau itu iya. Saya akui ekspekstasi menurun. Pengalaman di tengah jalan tidak seimbang gaungnya dengan yang dibayangkan.  Saya melihat keinginan kuat kita untuk memperbaiki sistemnya belum satu kata. Standing point para advokat masih berbeda. Tetapi mestinya perbedaan itu bukan kendala, melainkan memperkaya.  Dalam konteks ini, kurator juga harus memperbaiki diri. Jangan sampai aset pailit bernilai 10 miliar, kreditor hanya kebagian satu miliar. Laporan dan pengelolaan aset pailit harus terus diperbaiki agar lebih akuntabel. Saya lihat Komite Kerja in-ACCE (yang mengurusi masalah kepailitan –red) sudah meminta hakim-hakim niaga untuk membuat pedoman mana yang memerlukan penetapan mana yang tidak.  Jadi lebih jelas semuanya.  Saya kira akan lebih baik.  Saya berharap semuanya memperbaiki diri, mulai dari kurator, hakim pengawas, hakim niaga, hingga kreditor dan debitor. 

 

Apa yang dilakukan untuk pembenahan di internal AKPI?

Kalau dari internal AKPI sendiri kita akan perbaiki satu kode etik yang lebih baik, sehingga kita jadi panutan.  Sistem kita akan lebih baik lagi. Misalnya soal lelang atau auction. Mungkin nanti auction kita tidak melulu dari sisi Kantor Perbendaharaan dan Lelang Negara, tetapi ada juga private auction yang dikeluarkan asosiasi.  Kita berharap nantinya ada satu pengembangan ke arah sana.  Kita akan bersosialiasi terus bahwa ujung tombak dari kepailitan ini adalah kurator.

 

Sejauh mungkin para stakeholders senantiasa berdiskusi. Ibu Andriani (Ketua PN Jakarta Pusat) pun punya komitmen untuk melaksanakan coffe morning walu hingga sekarang belum terlaksana. Seminar bulan lalu juga menjadi salah satu cara. Menghabiskan uang buat pelatihan hakim, peneliti, membangun insfrastruktur tidaklah cukup. Semua pemangku kepentingan perlu. Kita juga ingin mengembangkan di asosiasi soal sertifikasi. Kalau mau jadi kurator harus ada rekomendasi dari asosiasi. Kenapa tidak? Karena nanti ada track record-nya.  Saya kira gagasan semacam itu baik.   

Tags: