Kala Ahli dan Pengacara Nur Alam Berdebat di Sidang Praperadilan
Berita

Kala Ahli dan Pengacara Nur Alam Berdebat di Sidang Praperadilan

Soal kedudukan penyelidik dan penyidik KPK.

ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Penyidik KPK membawa sejumlah berkas usai menggeladah rumah kediaman Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Jalan Mikasa D2 Patra Jasa, Kuningan, Jakarta Selasa (23/8).
Penyidik KPK membawa sejumlah berkas usai menggeladah rumah kediaman Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Jalan Mikasa D2 Patra Jasa, Kuningan, Jakarta Selasa (23/8).
Sidang praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (7/10). Dalam sidang yang diketuai hakim tunggal I Wayan Karya itu, mendatangkan ahli dari pihak termohon, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ahli yang dihadirkan adalah Adnan Pasyladja, pensiunan PNS yang juga seorang widyaswara kejaksaan serta mengajar di Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ). Dalam sidang, Adnan menyatakan bahwa penyelidik dan penyidik KPK tak harus dari unsur kejaksaan dan kepolisian.

“Tidak diatur di UU KPK (UU No. 30 Tahun 2002), penyelidik dan penyidik dari polisi dan kejaksaan,” kata Adnan.

Hal senada juga diutarakan ahli lain yang dihadirkan KPK, Anak Agung Oka Mahendra. Menurut salah satu anggota tim perumus UU KPK ini, penyelidik dan penyidik lembaga antikorupsi tersebut tidak harus dari polisi dan kejaksaan. Hal ini sesuai Pasal 43 dan Pasal 45 UU KPK.

Oka yang juga mantan Sekjen Mahkamah Kontitusi itu juga menyinggung Pasal 24 UU KPK yang menyebutkan Warga Negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai di KPK. "Keahliannya yang dimaksud bisa sebagai penyelidik dan penyidik," kata Oka yang juga pensiunan PNS dari Kementerian Hukum dan HAM tersebut. (Baca Juga: Sengkarut Perkara Izin Tambang Gubernur Sultra)

Sontak pernyataan ini memantik perdebatan. Pengacara Nur Alam, Maqdir Ismail menyatakan bahwa penyelidik dan penyidik KPK wajib berasal dari kepolisian dan kejaksaan, sesuai dengan KUHAP. Menurutnya, jika tidak diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, maka hal ini dikembalikan ke induknya yakni KUHAP.

Panggilan di Penyelidikan
Dalam kesempatan tersebut, Adnan juga memberikan keterangan soal pemanggilan calon tersangka dalam proses penyelidikan. Menurutnya, pemanggilan tersebut tidak wajib dilakukan aparat penegak hukum. Sebaliknya, aparat penegak hukum bisa saja memanggil dan calon tersangka tersebut tidak wajib untuk hadir.

"Kalau manggil boleh-boleh saja, namun apabila orang tersebut tidak hadir, maka tidak ada upaya paksa karena sifatnya hanya undangan untuk memberikan keterangan," kata Adnan.

Menurut Adnan, meski calon tersangka dalam proses penyelidikan tidak dilakukan pemeriksaan, maka aparat penegak hukum sudah bisa menetapkan orang tersebut sebagai tersangka apabila menemukan dua alat bukti yang cukup.

Untuk diketahui, terdapat beberapa poin dari pihak pemohon, Nur Alam, terkait penyidikan perkara yang melilitnya. Menurut Nur Alam dan penasihat hukumnya, penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan KPK tidak sah karena salah satu di antaranya adalah Novel Baswedan.

"Novel dalam perkara hasil putusan dari praperadilan di Bengkulu itu adalah seorang terdakwa dan itu putusan pengadilan," kata Maqdir. (Baca Juga: 3 Poin Permohonan Praperadilan Nur Alam)

Menurut Maqdir, penetapan tersangka Nur Alam bisa dikatakan cacat hukum. "Bukan hanya penetapan tersangkanya, tapi mulai dari penyelidikannya tidak sah, penyelidikan yang dilakukan bukan oleh penyelidik Polri, penyidikannya juga seperti itu," ujarnya.

Nur Alam mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan persetujuan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) periode 2008-2014. Ia disangka melanggar Pasal 2 ayat (1)atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar AS$4,5 juta atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri. Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.
Tags:

Berita Terkait