Kearifan Lokal Jadi Dasar OJK Bikin Peraturan LKM
Berita

Kearifan Lokal Jadi Dasar OJK Bikin Peraturan LKM

Terdapat dua LKM yang tak harus tunduk pada UU LKM lantaran diakui keberadaanya oleh hukum adat.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES
Keunikan dan kearifan lokal menjadi dasar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam membuat Peraturan OJK terkait Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Direktur Pengawasan Jasa Keuangan Lainnya OJK, M Ichsanuddin mengatakan, dasar ini diperlukan lantaran terdapat LKM yang unik.

“Ada dua LKM yang unik, yaitu tidak tunduk UU LKM (UU No. 1 Tahun 2013). Karena diatur dengan hukum adat,” kata Ichsanuddin di Jakarta, Jumat (6/6).

Kedua LKM tersebut, lanjut Ichsanuddin, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat. Kedua LKM ini terbentuk sebelum UU LKM lahir. Menurut UU LKM, LPD dan Lumbung Pitih Nagari tersebut tak harus tunduk pada UU lantaran keberadaannya diakui berdasarkan hukum adat.

“Kearifan lokal di dua daerah ini dikecualikan oleh UU,” kata Ichsanuddin.

Ia mengatakan, selain kearifan lokal, LKM memiliki keunikan lain seperti pinjaman yang kecil. Bahkan, terdapat LKM yang dari dahulu hingga sekarang angka kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) nol persen. Uniknya, jika ada kredit macet, pengurus LKM selalu mengumumkannya di tempat ibadah.

Atas dasar itu, keunikan lokal dan kearifan lokal menjadi pegangan OJK dalam menyusun peraturan. Ia menegaskan, OJK harus membumi dalam menyusun peraturan mengenai LKM. “Tidak bakalan LKM harus diatur dengan jaminan dan lain-lain,” kata Ichsanuddin.

Keunikan LKM lainnya, kata Ichsanuddin, batas usaha paling tinggi hanya sampai di tingkat kabupaten. Jika melewati dari tingkat kabupaten, maka LKM tersebut harus berubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). “Izin usaha LKM boleh sampai desa, kecamatan hingga kabupaten. Ini dilematis bagi LKM, kalau sudah besar (bisnisnya, red), harus membuat LKM baru di tempat lain,” katanya.

Ia menuturkan, setidaknya terdapat tiga Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) terkait LKM yang tengah digodok otoritas. Ketiga RPOJK tersebut di antaranya mengenai kelembagaan LKM, penyelenggaraan usaha LKM serta pembinaan dan pengawasan LKM.

Ichsanuddin mengatakan, terhadap tiga RPOJK tersebut, otoritas akan melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pemangku kepentingan seperti Pemerintah Kabupaten/Kota. RDP ini merupakan bagian dari rule making rule yang berlaku di OJK. “Sosialisasikan RPOJK, lalu minta masukan agar (peraturan, red) bisa diimplementasikan,” kata Ichsanuddin di Jakarta, Jumat (6/6).

Menurutnya, terdapat tujuh kota yang akan didatangi OJK untuk melakukan rule making rule tersebut. Ketujuh kota tersebut adalah Solo, Surabaya, Serang, Bengkulu, Bandung, Mataram dan Makassar. OJK menargetkan, hingga akhir Juni ini, sosialisasi dan rule making rule di tujuh kota tersebut selesai dilakukan.

Diskusi Mendalam
Ichsanuddin menyinggung mengenai perkembangan pembahasan RUU Perasuransian antara DPR dengan Pemerintah. Menurutnya, dalam pembahasan tersebut, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dibagi tiga buku. Pertama, Buku 1 yang intinya DIM tetap karena tak ada tanggapan sehingga bisa diteruskan ke tim perumus. Pada Buku 1 ini, terdapat 297 DIM.

Sedangkan DIM pada Buku 2, memerlukan diskusi lebih lanjut antara DPR dan Pemerintah. Jumlah DIM pada Buku 2 ini sebanyak 268 DIM (termasuk pindahan dari Buku 1). Lalu pada Buku 3 berisi 20 DIM. Buku 3 ini memerlukan diskusi lebih lanjut dan perlu meminta pendapat dan masukan dari pihak lain, seperti ahli dan stakeholder.

“20 DIM cukup berat pembahasannya,” kata Ichsanuddin.

Kabag Pengaturan Perasuransian dan Dana Pensiun OJK, Irfan Sanusi Sitanggang menambahkan, dari 20 DIM yang memerlukan diskusi mendalam tersebut terdiri dari sejumlah substansi. Misalnya mengenai kepemilikan asing. Terkait substansi ini terdapat sejumlah fraksi yang mengusulkan agar porsi asing di perusahaan asuransi diatur maksimum 49 persen.

Isu lainnya, kata Irfan, seperti bentuk badan hukum. Dalam RUU Perasuransian usulan Pemerintah, badan hukumnya hanya berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Namun, di pembahasan isu ini berkembang lagi lantaran ada yang mengusulkan berbentuk koperasi usaha bersama seperti UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Terkait isu spin off dalam unit usaha syariah, di RUU juga masuk kategori Buku 3 yang memerlukan diskusi mendalam. Hal ini dikarenakan ada yang mengusulkan agar jangka waktu spin off diperpanjang. Bahkan, definisi asuransi juga termasuk substansi yang memerlukan diskusi mendalam.

“Definisi termasuk, DPR minta ada, tapi RUU dari Pemerintah tidak dicantumkan definisi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait