Kebijakan Tata Ruang dan SDA Belum Serasi
Berita

Kebijakan Tata Ruang dan SDA Belum Serasi

Banyak peraturan perundangan tentang pertanahan saling berbenturan satu sama lain.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kebijakan tata ruang dan Sumber Daya Alam belum serasi. Foto: ilustrasi (Sgp)
Kebijakan tata ruang dan Sumber Daya Alam belum serasi. Foto: ilustrasi (Sgp)

Persoalan yang dihadapi berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia  adalah tata ruang, kawasan kehutanan dan budi daya. Persoalan ini muncul sebagai salah satu akibat dari kebijakan tata ruang dan SDA yang belum serasi. Hal ini disampaikan Direktur Hak Pendaftaran Tanah dan Guna Ruang Badan Pertanahan Nasional (BPN), Muh. Ikhsan, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Investasi dan Perhubungan 2012 Kadin Indonesia di Jakarta, Selasa (11/9).


Dia mengatakan, berdasarkan fakta yang ada kawasan hutan ditetapkan sebesar 68,31 persen. Namun, kenyataannya yang digunakan sebagai hutan sebesar 54,22 persen. Sisanya sebesar 14,09 persen digunakan sebagai daerah non hutan. Sedangkan penetapan tata ruang hutan sebesar 54,22 persen,  kawasan budidaya sebesar 33,01 persen dan kawasan lindung lainnya sebesar 21,21 persen.


Untuk penetapan tata ruang non hutan yang tersedia sebesar 14,09 persen, ditetapkan sebagai kawasan budidaya sebesar 11,58 persen dan ditetapkan sebagai hutan lindung sebesar 2,51 persen. Untuk kawasan non hutan, ditetapkan sebesar 31,69 persen, namun pada kenyataannya yang digunakan sebagai hutan hanya sebesar 10,72 persen dan sebesar 20,97 persen sebagai non hutan.


“Ini sebagai salah satu contoh yaitu Kebijakan Penatapan Kawasa Hutan dan Penataan Ruang dan bagaimana kenyataaannya dilapangan yang belum serasi,” ujarnya.


Selain kebijakan tata ruang dan sumber daya alam yang belum serasi dan memadai, problematika pertanahan di Indonesia dihadapkan dengan peraturan perundangan tentang tanah yang tumpang tindih serta adanya tantangan atas keadilan dan kesejahteraan akibat ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.


Menurut Ikhsan, ada beberapa peraturan perundangan tentang tanah  yang tumpang tindih antara lain, 12 undang-undang, 48 Peraturan Pemerintah (PP),  22 peraturan/keputusan presiden, 4 instruksi Presiden serta 496 peraturan/keputusan/surat edaran dan instruksi Menteri Negara/Kepa,la BPN.


Akibat dari peraturan perundangan yang tumpang tindih, seringkali memunculkan konflik agraria. Contoh dari konflik agrarian tersebut terlihat pada kebijakan pemanfaatan ruang antara kehutanan, perkebunan, pertambangan, transmigrasi dan lain-lain yang marak pada akhir-akhir ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: