Koalisi Desak KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Basarnas Melalui Pengadilan Tipikor
Terbaru

Koalisi Desak KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Basarnas Melalui Pengadilan Tipikor

KPK harus menggunakan UU KPK sebagai landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat kejahatan korupsi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak bersama Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI R. Agung Handoko usai memberi keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/7). Foto RES
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak bersama Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI R. Agung Handoko usai memberi keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/7). Foto RES

Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Selasa (25/7) telah ditindaklanjuti dengan menetapkan 5 orang sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tender proyek di Basarnas. Dari 5 tersangka itu 2 militer aktif yakni Kepala Basarnas RI Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. 

Tapi sayangnya KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka kedua prajurit TNI itu dan menyerahkan proses hukum kepada Puspom TNI dengan alasan yurisdiksi hukum sebagai militer aktif di bawah peradilan militer.

Langkah KPK menyerahkan proses hukum kepada Puspom TNI itu dikecam koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP. Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menegaskan langkah KPK itu merusak sistem penegakan hukum pemberatasan korupsi di Indonesia.

Baca Juga:

“Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (Korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut,” kata Julius dikonfirmasi, Sabtu (29/7).

Menurut Julius KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya.

Selama ini sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU.”

Tags:

Berita Terkait