Loeke Larasati: Perjuangan Perempuan Kedua di Kursi Jaksa Agung Muda
Srikandi Hukum 2018

Loeke Larasati: Perjuangan Perempuan Kedua di Kursi Jaksa Agung Muda

Di mata Loeke, perempuan itu hebat ketika menjalani dua profesi yakni profesi hukum dan ibu rumah tangga. Tetapi bukan berarti kalau hanya seorang ibu rumah tangga tidak hebat. Justru, ibu rumah tangga bekerja jauh lebih berat/keras daripada suaminya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Kasus purbakala pertama

Dalam perjalanannya selama lebih dari 31 tahun menjadi abdi negara sejak lulus CPNS pada Maret 1987, selama kurun waktu tersebut pengalaman pahit-manis telah dialaminya ketika menjalankan tugasnya sebagai Jaksa. Ia membagi dua pengalaman yang tidak pernah dilupakan sepanjang karirnya sebagai penegak hukum. Pertama, saat menangani kasus perusakan cagar alam di Yogyakarta. “Itu satu-satunya perkara perusakan situs yang disidangkan,” kenang Loeke.

 

Singkat cerita, kasus yang dimaksud Loeke adalah perusakan bangunan SMA “17” yang telah masuk kategori Cagar Budaya. Dua terdakwa dalam perkara ini yakni Mochammad Zakaria dan Yoga Trihandoko divonis masing-masing denda Rp500 juta karena terbukti bersalah melanggar Pasal 105 jo Pasal 113 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.   

 

“Saya juga sudah deg-degan, kira-kira terbukti atau tidak, alhamdulillah terbukti. Waktu itu Dirjen atau siapa datang meng-apreciate itu, saya juga sampai deg-degan karena baru kali itu menggunakan UU kepurbakalaan,” tutur Loeke.

 

Selain tentang penanganan perkara, ada satu hal yang membuatnya terharu kalau mengingat kenangan itu, saat dirinya menjabat Kajati Jawa Barat. Jadi, kata Loeke, ketika itu ada program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) yang mengharuskan mendatangi berbagai sekolah dalam rangka sosialisasi dan pembinaan.

 

Sempat jadi perdebatan mengenai sekolah mana saja yang perlu diberikan sosialisasi. Singkat cerita, SMA Negeri 3 Bandung terpilih menjadi salah satu lokasi, tetapi beberapa rekannya tidak setuju karena sekolah tersebut dianggap salah satu sekolah terbaik, sehingga tidak diperlukan sosialisasi.

 

Namun, ia mempunyai pendapat sosialisasi dilakukan tidak hanya kepada sekolah tertentu saja, tetapi harus secara menyeluruh dan argumentasinya itu diterima oleh para koleganya. Dan akhirnya ia pun kembali menginjakkan kaki di sekolah tercintanya itu setelah lebih dari 40 tahun.

 

“Saya datang ke sana terharu juga setelah 40 tahun enggak pernah datang ke sekolah. Kebetulan kepala sekolahnya perempuan Bu Yeni. Saya juga perempuan, sama-sama terharu saya, tahun ‘77 saya lulus, saya ke sana kemarin tahun 2017. Bangunan (sekolahnya) hampir sama seperti dulu, kan bangunannya heritage juga kan SMA 3, dalem-nya juga masih begitu luarnya juga,” terang Loeke yang juga alumnus SMA 3 Bandung pada 1977.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait